Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi yang menolak legalisasi ganja untuk kepentingan medis bisa berdampak negatif. Para penderita penyakit berat akan semakin lama mendapat alternatif pengobatan yang sangat mungkin lebih ampuh dan tak memakan biaya banyak. Pemerintah perlu segera mempercepat legalisasi ganja medis, disertai kajian yang komprehensif serta pengaturan yang ketat, untuk membantu penyembuhan pasien yang berpenyakit berat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Rabu, 20 Maret 2024, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan legalisasi ganja melalui uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 Beserta Protokol yang Mengubahnya. Mahkamah menganggap bahwa narkotika golongan I, termasuk ganja dan turunannya, hanya dapat digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan tak dapat digunakan untuk terapi.
Mahkamah pada 20 Juli 2022 juga menolak uji materi Undang-Undang Narkotika yang diajukan para aktivis legalisasi ganja. Salah satu pengusungnya adalah orang tua anak yang menderita cerebral palsy. Beberapa studi menunjukkan bahwa ganja medis mampu mengatasi gejala cerebral palsy seperti nyeri kronis dan epilepsi. Mahkamah mendorong pemerintah segera mengkaji manfaat ganja untuk kepentingan medis.
Meski bisa menyebabkan ketergantungan, ganja berdasarkan sejumlah hasil studi mampu mengatasi sejumlah penyakit seperti nyeri kronis hingga membantu pengobatan kanker. Ekstrak ganja dianggap dapat membantu membunuh sel kanker tertentu dan mengurangi ukuran sel lain. Manfaat ganja pun diakui oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO yang telah mengeluarkan mariyuana dari daftar narkotika berbahaya.
Mahkamah Konstitusi seharusnya memperhatikan berbagai fakta tersebut. Keputusan WHO, dan 30 negara yang membebaskan penggunaan ganja untuk kepentingan medis maupun rekreasi, menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 maupun Undang-Undang Narkotika tak lagi bisa diberlakukan secara penuh. Mencabut ganja dari daftar narkotika golongan I tak hanya perlu dipertimbangkan, tapi juga harus segera dilaksanakan.
Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah bisa merevisi Undang-Undang Narkotika sebelum masa jabatannya berakhir. Kebutuhan ganja medis perlu menjadi prioritas ketimbang memikirkan dampak negatifnya, yang dalam beberapa studi kalah berbahaya ketimbang rokok dan alkohol. Sepanjang penggunaan ganja medis bisa diawasi dengan ketat, di bawah pantauan dokter dan fasilitas kesehatan, penyalahgunaannya bisa diminimalkan.
Pemerintah dan DPR tak perlu menunggu riset manfaat ganja medis rampung. Berbagai riset tepercaya sudah cukup untuk menjadi dasar pengambilan keputusan. Pada 2022 dan 2023, misalnya, sudah terbit dua peraturan Menteri Kesehatan untuk memulai studi ganja medis. Namun sampai kini belum jelas pelaksanaan riset itu sudah sejauh apa.
Revisi aturan dan riset bisa dilakukan paralel karena ada kebutuhan yang menyangkut keselamatan penderita penyakit tertentu. Untuk kebutuhan rekreasi, legalisasi ganja bisa saja dilakukan, lagi-lagi dengan pengawasan ketat dari hulu hingga hilir. Misalnya tak semua orang boleh menanam atau memperjualbelikan ganja. Penggunaannya pun tak boleh di sembarang tempat. Menghilangkan sanksi pidana bagi pengguna ganja juga akan membuat penjara tak sesak.
Negara bisa mendapatkan keuntungan finansial dari penggunaan ganja medis, seperti yang diterapkan di Thailand mulai Juni 2020. Tak sampai setahun setelah legalisasi ganja dimulai pada Juni 2020, industri kanabis di negara itu tumbuh pesat—ada lebih dari 4.000 bisnis ganja dan turunannya. Dengan berbagai manfaatnya, menolak atau memperlambat legalisasi ganja medis hanya membawa mudarat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo