Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Binhad Nurrohmad
Dalam sebuah seminar bertopik “Sastrawan Perempuan”, saya pernah melontarkan lelucon yang membuat peserta seminar kaget dan sekaligus terbahak. Lelucon itu berupa pernyataan bahwa “semua sastrawan perempuan adalah waria”. Bagaimanakah penjelasannya? Jika “sastrawan” adalah pujangga berjenis kelamin laki (sebab sufiks “wan” lazim berarti maskulin) dan “perempuan” adalah manusia yang punya vagina, bisa haid, dan bisa bunting; maka bukankah “sastrawan perempuan” berarti pujangga berjenis kelamin laki yang punya vagina dan bisa bunting?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 2001), entri kata “sastrawan” berarti 1 ahli sastra; 2 pujangga, pengarang prosa dan puisi; dan 3 (orang) pandai-pandai; cerdik cendekia. Entri kata “sastrawan” di kamus ini tak menerangkan bahwa sufiks “wan” dari kata “sastrawan” menunjuk jenis kelamin tertentu.
Tapi, menurut kamus yang sama, entri kata “wan” berarti tuan. Dan masih menurut kamus yang sama, entri kata “wan (-man, -wati)” berarti sufiks pembentuk nomina 1 orang yg ahli dl bidang: ilmuwan; budayawan; seniman; 2 orang yg bergerak dl: karyawati, wartawan; 3 orang yg memiliki barang atau sifat khusus; dermawan; hartawan; rupawan; bangsawan. Juga masih menurut kamus yang sama, entri kata “karyawati” berarti karyawan wanita; pegawai wanita; pekerja wanita.
Jika kata “wan” berarti “tuan” (bermakna maskulin), mengapa selama ini tak muncul kata bermakna feminin seperti “ilmuwati”, “budayawati”, “dermawati”, “hartawati” “rupawati”, maupun “bangsawati”?
Tapi ada sejumlah kata yang khusus menunjuk jenis kelamin perempuan, contohnya “lonte”, “lacur”, dan “sundal” yang artinya perempuan yang berkelakuan negatif (jalang, lucas, buruk, bejat, kotor, liar, mesum) dan menakutkan. Dalam bahasa sehari-hari kerap muncul kata-kata “perempuan sundal”, “pelacur”, dan “sundal bolong”. Padanan kata “perempuan” pun, misalnya “betina”, bermakna negatif dan bermartabat rendah, sedangkan padanan kata “laki”, misalnya “jantan”, bermakna positif dan bermartabat tinggi. Juga ada istilah WTS (wanita tunasusila) dan “nenek sihir”, tapi tak ada istilah PTS (pria tunasusila) dan “kakek sihir”. Istilah formal PSK (pekerja seks komersial) pun seakan hanya menunjuk jenis kelamin perempuan. Apakah ini bentuk bias jender atau diskriminasi Bahasa Indonesia?
Ada sejumlah bahasa yang punya kata khusus untuk menunjuk jenis kelamin tertentu. Bahasa Inggris mengenal kata “he” untuk menyebut “dia yang berjenis kelamin laki” dan “she” untuk menyebut “dia yang berjenis kelamin perempuan”. Dalam Bahasa Arab, kata “huwa” berarti “dia yang berjenis kelamin laki” dan kata “hiya” berarti “dia yang berjenis kelamin perempuan” serta kata “anta” untuk menyebut “kau yang berjenis kelamin laki” dan kata “anti” untuk menyebut “kau yang berjenis kelamin perempuan”.
Tapi dalam Bahasa Indonesia, kata “dia” bisa menunjuk orang ketiga tunggal berjenis kelamin laki maupun perempuan dan kata “kau” bisa menunjuk orang pertama tunggal berjenis kelamin laki maupun perempuan. Dalam obrolan tatap muka langsung, penggunaan kata “kau” tak menjadi masalah, tapi kata “dia” maupun “kau” dalam komunikasi tulisan bisa mengaburkan jenis kelamin orang yang dimaksudkan. Dalam Bahasa Jawa, kata “sampeyan”, “panjenengan”, maupun “kowe” juga tak menunjuk jenis kelamin tertentu orang yang dimaksudkan.
Juga ada sejumlah bahasa yang punya kode bahasa yang menunjuk jenis kelamin orang dari nama yang disandangnya. Contoh, dalam Bahasa Arab ada nama “Amin”, “Hamid”, dan “Hasan” yang menunjuk orang berjenis kelamin laki (muzakar) maupun nama “Aminah”, “Hamidah”, dan “Hasanah” yang menunjuk orang berjenis kelamin perempuan (muanas)—perhatikan tambahan “ah” di belakang nama “Amin”, “Hamid”, dan “Hasan”.
Dalam Bahasa Arab juga ada nama-nama tertentu yang identik dengan perempuan (Laila, Aisyah, Fatimah) atau identik dengan laki (Akbar, Umar, Sulaiman) dan dalam Bahasa Jawa pun ada nama-nama tertentu yang identik dengan perempuan (Laksmi, Ayu, Rukmi) atau identik dengan laki (Bambang, Adi, Seno), tapi tak sedikit perempuan maupun laki menyandang nama “Sri”, “Hesti”, dan “Edi” yang bagi orang Jawa bisa menunjuk seorang perempuan maupun laki sehingga orang bisa keliru menandai jenis kelamin yang menyandang nama-nama ini.
Ternyata, sebuah kata bisa tak menunjuk jenis kelamin tertentu, punya jenis kelamin tertentu, atau seakan berjenis kelamin ganda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo