Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepak terjang Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan kini menjadi sorotan. Kalangan politikus banyak yang memuji perannya di balik kompromi antara presiden terpilih Joko Widodo dan rivalnya dalam pemilu, Prabowo Subianto. Pertemuan kedua tokoh ini membikin suasana politik menjadi lebih adem. Hanya, peran Budi sebetulnya melenceng dari tugas intelijen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalangan politikus melihat peran Budi mirip yang dulu dilakukan oleh Taufiq Kiemas, suami Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Kemiripan itu mungkin benar dalam urusan menjembatani tokoh politik yang tengah berseteru. Tapi ada perbedaan yang mencolok pula. Bagaimananapun Taufiq, yang saat itu menjabat Ketua Majelis Permusyarawatan Rakyat, merupakan politikus. Adapun Budi memimpin lembaga intelijen yang seharusnya menjauhi manuver politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalih bahwa konflik politik pasca pemilu sudah mengarah pada gangguan keamanan negara sulit diterima akal sehat. Suasana politik yang cukup panas sebelum dan sesudah pemilu merupakan hal yang biasa dalam negara demokrasi. Gesekan politik yang terjadi jauh dari urusan keselamatan bangsa dan negara.
Langkah Budi semakin masuk dalam politik lantaran ia ditengarai juga berperan mempertemukan Prabowo dengan Megawati pada Juli lalu. Pertemuan yang berlangsung di kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta, itu telah mengubah konstelasi politik. Prabowo bersama Partai Gerindra yang dipimpinnya semula diperkirakan akan berperan sebagai oposisi murni. Manuver politik di Teuku Umar, juga pertemuan sebelumnya dengan Jokowi, menyebabkan prediksi itu meleset.
Sebagai Kepala BIN, Budi semestinya menjauhi lobi-lobi politik yang melibatkan para pemimpin partai. Ia seharusnya menjaga prinsip penting dalam intelijen, seperti profesionalitas, integritas, dan netralitas yang diatur dalam Undang-Undang Intelijen Negara.
Bukan kali ini saja figur Budi Gunawan mengundang kontroversi. Pada 2015, saat menjadi Wakil Kepala Polri, ia juga pernah menjadi sorotan. Ketika itu, Budi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus rekening gendut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Kasus ini memicu pertikaian sengit antara KPK dan kepolisian. Ujungnya, dua pemimpin komisi antikorupsi saat itu ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian.
Setelah konflik itu mereda, karier Budi ternyata belum habis. Setahun kemudian, ia diangkat menjadi Kepala BIN oleh Presiden Jokowi. Kini bahkan ia disebut-sebut berpeluang besar untuk menduduki posisi penting dalam kabinet Jokowi periode mendatang.
Presiden Jokowi seharusnya mempertimbangkan rekam jejak Budi Gunawan selama ini. Presiden semestinya pula meluruskan sepak terjang Budi sebagai bos intelijen. Tugas intelijen negara jelas memberikan masukan kepada kepala negara, bukan kepada Jokowi sebagai pribadi atau tokoh politik. Tugas intelijen negara bukanlah mengurusi kompromi antar-tokoh politik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo