Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dunia perguruan tinggi telah dinodai oleh civitas academica-nya sendiri. Rektor Universitas Negeri Semarang, Profesor Fathur Rokhman, dengan semena-mena membebastugaskan sementara Sucipto Hadi Purnomo sebagai dosen karena dituduh membuat ujaran kebencian dan penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo lewat komentarnya di Facebook.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Langkah Fathur ini berlebihan dan di luar kewenangannya sebagai rektor. Hanya pengadilanlah yang dapat memutuskan apakah komentar Sucipto itu merupakan ujaran kebencian dan penghinaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sungguh ironis apabila para rektor, yang seharusnya punya tanggung jawab paling besar dalam menjunjung tinggi dan memelihara kebebasan akademis di kampus, malah mengubur prinsip utama universitas ini. Lebih ironis lagi bila para rektor justru bertindak seperti gerombolan preman yang sibuk "mengintip" grup percakapan online para dosen dengan pelbagai dalih.
Dalam kasus Fathur, persoalannya lebih berat lagi. Kredibilitasnya sebagai profesor kini sedang dipertanyakan. Senat Akademik Universitas Gadjah Mada telah memanggil Fathur untuk mengklarifikasi dugaan plagiarisme penulisan disertasinya saat menempuh program doktoral di kampus itu. Fathur diduga menjiplak skripsi mahasiswa bimbingannya dalam penyusunan disertasinya berjudul Pemilihan Bahasa dalam Masyarakat Dwibahasa: Kajian Sosiolinguistik di Banyumas pada 2003. Senat belum mengumumkan keputusan terhadap kasus ini.
Bekerja lebih cepat, Tim Evaluasi Kinerja Akademik yang dibentuk oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi telah menyelesaikan kajiannya. Pada Oktober 2018, tim menyimpulkan bahwa Fathur telah menjiplak skripsi mahasiswa Universitas Negeri Semarang bernama Ristin Setiyani pada 2001, berjudul Pilihan Ragam Bahasa dalam Wacana Laras Agama Islam di Pondok Pesantren Islam Salafi Al Falah Mangunsari Banyumas.
Sucipto termasuk anggota tim evaluasi dan saksi pengaduan kasus plagiarisme ini di Kepolisian Daerah Jawa Tengah. Sulit dimungkiri bahwa pembebastugasannya sebagai dosen oleh Fathur terkait erat dengan peran Sucipto dalam membongkar penjiplakan itu.
Plagiarisme merupakan kejahatan besar di dunia akademis. Penjiplakan melanggar prinsip utama dalam pendidikan, yakni kejujuran akademis. Plagiarisme bukan sekadar pelanggaran etik, tapi juga pidana. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional menggariskan bahwa bila seorang mahasiswa terbukti melakukan plagiarisme dalam menyusun skripsinya, maka gelarnya dapat dicabut, ijazahnya dibatalkan, dan diancam dengan hukuman 2 tahun penjara serta denda Rp 200 juta.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi mengatur lebih terperinci perkara plagiarisme ini. Peraturan itu menetapkan, bila pelakunya adalah profesor, tersangka akan dijatuhi sanksi tambahan berupa pemberhentian dari jabatan akademis yang tengah disandangnya. Bila perguruan tingginya tak menjatuhkan sanksi, maka sanksi dapat diberikan oleh Menteri Pendidikan.
Rektor yang melakukan plagiarisme dan kemudian menonaktifkan dosen yang menjadi saksi dalam kasus plagiarismenya dengan tuduhan politis jelas merupakan rektor yang buruk. Tindakan Fathur sudah menodai perguruan tinggi. Dia tak pantas menjabat rektor, apalagi dengan gelar profesor. Adapun pembebastugasan Sucipto harus segera dibatalkan dan jabatannya dikembalikan. Menteri Pendidikan Nadiem Makarim harus segera menyelesaikan kasus ini agar tidak berlarut-larut.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 18 Febuari 2020