Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada visi-misi menteri, yang ada visi-misi presiden. Demikian Presiden Joko Widodo menegaskan kepemimpinannya dalam rapat kabinet terbatas pertama setelah menjabat kembali presiden untuk periode kedua pada 24 Oktober 2019. Maka, Mahkamah Konstitusi tak cukup hanya mendengar kesaksian menteri, tapi juga harus memanggil Jokowi secara langsung untuk membongkar dugaan kecurangan pemilihan presiden pada 14 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari ini, Mahkamah Konstitusi akan mendengarkan kesaksian empat menteri kabinet Jokowi untuk mengukur netralitas presiden dalam pemilihan umum. Para menteri yang dipanggil itu adalah Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Sosial Tri Rismaharini.
Dua tim calon presiden, pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md., menggugat dugaan kecurangan pemilu secara terstruktur, sistematis, dan masif. Gugatan itu bersumber dari cawe-cawe Jokowi jauh sebelum pemilu.
Pertama, soal lolosnya Gibran Rakabuming Raka, anak Jokowi, menjadi calon wakil presiden untuk Prabowo Subianto. Gibran, yang belum cukup syarat menjadi kandidat wakil presiden menurut Undang-Undang Pemilu, bisa melaju setelah Mahkamah Konstitusi mengubah Pasal 169 huruf q. Sidang hakim konstitusi itu dipimpin oleh Anwar Usman, adik ipar Jokowi. Investigasi Tempo menemukan ada usaha kekuasaan mempengaruhi para hakim agar mengabulkan gugatan merevisi pasal tersebut.
Kemudian soal pengerahan aparatur negara untuk mempengaruhi pemilih. Juga penyaluran bantuan sosial menjelang pemilu agar para pemilih mendukung pasangan Prabowo-Gibran. Dalam pembagian bansos itu, para menteri yang mendukung Prabowo-Gibran meminta penerima bantuan berterima kasih kepada Jokowi. Cawe-cawe Jokowi itu menghasilkan kemenangan bagi Prabowo-Gibran dengan suara mayoritas 58,6 persen menurut rekapitulasi suara Komisi Pemilihan Umum.
Dengan masifnya pengerahan sumber daya negara mendukung Prabowo-Gibran itu, kesaksian empat menteri tersebut tidaklah cukup. Para menteri, sebagaimana pernyataan Jokowi di awal pemerintahan periode kedua, hanya menjalankan apa yang diperintahkan presiden. Maka, jika bansos enam bulan dirapel pada awal Februari, para menteri menjalankannya atas perintah atasannya.
Empat menteri tentu tak cukup menggali cawe-cawe kekuasaan. Empat menteri itu hanya terlibat mengurus bansos. Sementara itu, pengerahan aparatur negara dari pusat hingga desa mesti mendengarkan kesaksian Kepala Polri, Kepala Badan Intelijen Negara, Menteri Dalam Negeri, hingga Menteri Desa.
Lagi pula, karena masih menjadi bagian kabinet, kesaksian empat menteri itu bisa jadi formalitas belaka. Mereka akan memberikan pernyataan normatif, alih-alih menyampaikan kenyataan melaksanakan cawe-cawe Jokowi memenangkan anaknya. Karena itu menggali keterangan dari anak buah presiden tak akan cukup menjadi bekal hakim konstitusi menimbang tuduhan kecurangan pemilu secara sistematis.
Bagi Jokowi, kehadirannya di Mahkamah Konstitusi akan membersihkan namanya dari segala tuduhan tak netral dalam Pemilu. Ketidaknetralan Presiden adalah aib karena memakai kekuasaan memenangkan kandidat yang ia dukung.
Jika Jokowi bisa menunjukkan ia tak terlibat dalam Pemilu, tak bekerja memakai uang negara demi sayang anak, tuduhan kecurangan dengan sendirinya batal. Sejarah akan mencatat ia sebagai seorang negarawan sejati, demokrat tulen, yang membiarkan anaknya bertarung sendiri menggapai kekuasaan.