Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seno Gumira Ajidarma
PanaJournal.com
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menjelang Joko Widodo dilantik sebagai Presiden RI ke-7 pada 2014, di kolom ini saya menulis catatan dengan judul "Petruk Jadi Raja". Ini mengacu pada cerita wayang, bukan terutama karena Jokowi kurus dan tinggi, melainkan karena sejumlah faktor yang memang menghubungkannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertama, sebagaimana Petruk, Jokowi adalah representasi "rakyat", yang ditandai dengan peran besar relawan dalam membalikkan perolehan suara. Kedua, Petruk sebagai Bèlgeduwèlbèh Tongtongsot mengambil alih kekuasaan para kesatria karena situasi krisis; memang bukan krisis kekuasaanlah yang mesti berlaku atas naiknya Jokowi, melainkan apa yang baru sekarang saya namakan "krisis kreativitas" dalam pemerintahan.
Perbedaan lain, jika ingin "bermain wayang" dengan sistem kastanya, apabila Petruk dianggap sebagai rakyat berkasta sudra, pengambil alih kekuasaan para kesatria secara demokratis kali ini adalah rakyat dari kasta weisya. Jokowi adalah pedagang meubel cum "tukang insinyur", weisya, bukan? Pemilihan presiden sebelumnya, yang sampai dua kali dimenangi SBY, dalam konteks wayang adalah pertarungan antarkesatria. Masuknya Jokowi ke gelanggang adalah fenomena yang sama sekali berbeda.
Kreativitas yang sudah ditunjukkan sepanjang 2014-2019 tidak perlu saya ungkapkan. Yang ingin saya sampaikan adalah pandangan bahwa Jokowi memasuki pemilihan presiden 2019 dengan situasi lain. Jika pada 2014 Jokowi memasuki gelanggang sebagai media darling yang mencitrakan dirinya sebagai wakil wong cilik, yang barangkali saja "melawan kemapanan", pada 2019, sebagai "calon presiden yang sedang menjabat presiden", tentu wong cilik sudah dilihat sebagai wong gede, setidaknya oleh sesama wong gede.
Sebagai presiden, menghadapi calon presiden lain yang bukan wong cilik, pemilihan presiden kembali menjadi pertarungan antarkesatria. Relawan pendukung Jokowi masih ada dan sedikit-banyak tetap menentukan, tapi faktor koalisi antarpartai jauh lebih berperan ketimbang sebelumnya. Jokowi kini dijagokan "kubu Jokowi" dengan segenap kepentingannya. Pencitraan wakil wong cilik tetap berlangsung, tapi massa mengambang wong cilik itu sendiri sudah terbagi dua. Ini berarti personifikasi Jokowi sebagai Petruk sudah tidak cocok lagi. Apa gantinya?
Dalam konteks budaya politik Jawa, ketika wayang (baca: Ramayana dan Mahabharata) yang sudah terbumikan begitu rupa tetap diikuti bayang-bayang keberasalannya dari India, tema Panji dalam susastra, relief candi, dan seni pertunjukan-menurut para sarjana filologi, arkeologi, dan ilmu sejarah-lebih membumi daripada wayang. Adapun kemembumian Panji ditunjuk berdasarkan gaya relief kerakyatan, gambaran kehidupan sosial Majapahit, dan keterbandingannya dengan sejarah politik Jawa abad ke-11 sampai ke-15, yang artinya dari masa Airlangga (1021-1042) sampai Dyah Ranawijaya (1478-1486). Dalam konteks politik, Panji membawa pesan agar "kerajaan bersatu".
Alur Panji, dalam berbagai versi dan variasi, selalu tentang dua kerajaan utama, Daha dan Kahuripan. Dalam legenda lain, keduanya pernah menyatu sebelum dibelah oleh Mpu Barada, yang secara historis menjadi Janggala-Kadiri (1052-1222). Panji berkisah tentang rencana perkawinan Putri Candrakirana dari Daha dengan Raden Inu Kertapati dari Kahuripan yang menjadi amburadul akibat campur tangan selir Raja Daha, yang menghendaki Raden Inu untuk putrinya sendiri. Setelah berbagai drama guna-guna dan pengguntingan rambut, Candrakirana minggat dan menyamar sebagai pria Panji Kuda Semirang, lantas mendirikan kerajaan penyamun. Raden Inu yang kehilangan pun mengembara untuk mencarinya. Ketika keduanya menyatu, kedua kerajaan dijadikan satu.
Di samping unsur Tantrisme dalam konteks agama, baik dari Siwaisme maupun Buddhisme, tema Panji yang digarisbawahi adalah konteks politik menyangkut (1) refleksi tentang perjuangan menyatukan kerajaan, sebagai isu politik utama zaman Majapahit, yang kemungkinan besar meningkatkan popularitas Panji masa itu; (2) cerita Panji sebagai simbol perjuangan pangeran muda dalam hierarki politik, untuk menjadi raja atau kesatria mumpuni-subyek kidung dan cerita Panji bukanlah takhta kerajaan itu sendiri, melainkan persiapan naik takhta kerajaan (Kieven, 2017: 51).
Semasa Hayam Wuruk (1350-1389), mempersatukan Majapahit adalah memperluas hegemoni. Namun, semasa Ranawijaya, persatuan diperlukan karena Majapahit terpecah-belah dengan parah sehingga Panji menjadi representasi impian "zaman normal". Menerapkan alur Panji dalam riwayat kekuasaan Jokowi, periode Wali Kota Solo-Gubernur Jakarta dapat dikatakan sebagai masa persiapan sang pangeran. Adapun awal periode kedua sebagai presiden menjadi perjuangan untuk menyatukan kembali-bukan kerajaan, bukan republik-melainkan wong cilik, yang terbelah tanpa prinsip apa pun yang begitu lebay untuk memisahkannya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo