Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah menetapkan keanggotaan Jaminan Kesehatan Nasional sebagai syarat jual-beli tanah.
Proses hukum jual-beli tanah tak membutuhkan syarat JKN.
Kebijakan baru ini membuat tumpang-tindih kewenangan antar-lembaga.
Agung Hermansyah
Advokat dan Anggota DPC Peradi Pekanbaru
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini akal sehat kita tengah diuji. Pemerintah menyatakan kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menjadi syarat dalam pendaftaran tanah atau jual-beli tanah. Aturan ini telah ditetapkan pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program JKN dan Surat Edaran Direktorat Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional tanggal 16 Februari 2022. Tidak jelas apa hubungan antara kepesertaan JKN pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan pendaftaran tanah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada dugaan bahwa kebijakan ini berkaitan dengan defisit dana jaminan sosial nasional yang dikelola oleh BPJS Kesehatan dalam program JKN. Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fahmi Idris, mengatakan ada defisit sebesar Rp 16,5 triliun yang terdiri atas defisit arus kas tahun 2018 sebesar Rp 16,5 triliun ditambah defisit dari tahun 2017 sebesar Rp 4,4 triliun.
Terlepas dari masalah tersebut, kebijakan baru ini terkesan memaksa masyarakat untuk ikut dalam program BPJS Kesehatan. Padahal, dalam konteks pelayanan publik, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009, memberikan pelayanan adalah kewajiban pemerintah dan mendapatkan pelayanan adalah hak warga negara. Adapun bentuk atau jenis-jenis pelayanan sifatnya adalah pilihan. Dalam kerangka pelayanan itu, masyarakat boleh memilih ikut jaminan kesehatan yang disediakan pemerintah, jaminan kesehatan yang disediakan swasta, atau memilih tidak ikut sama sekali. Hal itu tergantung selera dan kemampuan masyarakat.
Penambahan syarat administrasi berupa dokumen kepesertaan BPJS Kesehatan dalam pendaftaran hak atas tanah karena jual-beli jelas tidak dapat dibenarkan secara hukum. Sebab, jual-beli adalah perbuatan hukum perdata, sedangkan pendaftaran tanah merupakan tindakan administrasi yang bersifat legalistik dan formalitas semata. Logika hukum seperti ini bisa dilihat dalam yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 88K/TUN/1993 dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10/2020 yang pada intinya menyatakan bahwa perbuatan perdata atas tanah menyangkut soal kepemilikan tanah. Ini berbeda dengan pendaftaran tanah, yang merupakan penetapan tertulis atas suatu hak atas tanah.
Proses Jual-Beli Tanah
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21-22/PUU-V/2007 menyatakan, khusus mengenai hak atas tanah berlaku Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. Di sini perlu dibedakan antara "jual-beli tanah" dan "peralihan hak atas tanah". Sebab, secara hukum, hak milik atas barang yang dijual tidak serta-merta pindah kepada pembeli.
Yang dimaksud dengan "jual-beli", menurut Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, adalah suatu persetujuan di mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang dan pihak lain membayar harga yang dijanjikan. Syarat sahnya perjanjian jual-beli ini tetap merujuk pada Pasal 1320 undang-undang tersebut, yakni adanya kesepakatan, cakap hukum, obyek tertentu, dan kausa yang halal. Menurut Mahkamah Agung, jual-beli tanah juga harus tunduk dan memenuhi syarat-syarat dalam UUPA, hukum adat, dan dilakukan secara terang, kontan, dan tunai serta disaksikan di hadapan pejabat desa/kelurahan.
Setelah jual-beli, barulah terjadi peralihan hak atas tanah dari pemegang hak yang lama kepada pemegang hak yang baru. Namun peralihan tanah tidak hanya karena jual-beli, tapi juga dapat berupa tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, lelang, dan pemindahan hak lainnya.
Jika terjadi peralihan hak atas tanah, hal itu harus dituangkan dalam akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah (PPAT). Peralihan hak atas tanah melalui jual-beli biasanya dilakukan dengan perjanjian pengikatan jual-beli (PPJB). Setelah kewajiban-kewajiban dalam PPJB dilakukan, dibuatlah akta jual-beli. Perlu diingat bahwa berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung, akta jual-beli tanah hanya berlaku sebagai alat bukti pembayaran.
Pemindahan hak atas tanah terjadi apabila syarat perjanjian jual-beli dilakukan secara bersamaan dengan pemindahan hak dari penjual kepada pembeli dan pembayaran dari pembeli kepada penjual. Obyek tanah kemudian dikuasai oleh pembeli berdasarkan iktikad baik.
Di sisi lain, pendaftaran tanah adalah fasilitas yang diberikan oleh negara kepada warga negara dalam bentuk pemberian surat tanda bukti haknya terhadap kepemilikan dan penguasaan atas tanah. Akta yang dijadikan dasar pendaftaran adalah akta jual-beli tanah yang dibuat PPAT.
Jadi, proses jual-beli tanah sampai beralihnya kepemilikan hak atas tanah tidak ada sangkut-pautnya dengan kepemilikan kartu BPJS Kesehatan dalam proses administrasi pendaftaran tanah. Syarat kepemilikan kartu BPJS Kesehatan bukan dokumen yang substansial dan menentukan syarat sahnya proses jual-beli tanah dan peralihan hak atas tanah.
Campur Aduk Kewenangan
Sebagaimana asas hukum "tiada kewenangan tanpa pertanggungjawaban", langkah memasukkan syarat kepesertaan BPJS Kesehatan sebagai syarat permohonan pendaftaran tanah dapat menimbulkan masalah lain berupa tumpang-tindih kewenangan antara Kementerian Agraria dan BPJS Kesehatan. Sebab, cakupan kewenangan Kementerian Agraria hanya dalam pengelolaan sumber daya agraria. Urusan orang mau daftar dan ikut kepesertaan BPJS Kesehatan bukanlah urusan Kementerian Agraria.
Menurut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, kebijakan memasukkan kepesertaan BPJS Kesehatan sebagai syarat pendaftaran tanah tergolong sebagai tindakan mencampuradukkan wewenang. Ini karena urusan orang mau daftar dan ikut BPJS Kesehatan berada di luar cakupan bidang atau materi wewenang Badan Pertanahan Nasional, yang hanya sebagai penyelenggara pendaftaran tanah.
Kebijakan baru ini jelas sangat menyesatkan dan keliru. Logika hukum seperti ini tidak boleh dipertahankan, karena dapat merusak tatanan hukum pertanahan yang sudah ada dan diwariskan secara turun-temurun.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo