Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JANGAN terkecoh oleh kata demokrasi dalam nama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Sudah lama segala keputusan partai ini hanya tunduk pada keputusan Megawati Soekarnoputri, ketua umumnya—termasuk dalam memutuskan siapa calon presiden yang mereka usung dalam Pemilu 2024. Setelah menolak dengan pelbagai cara, Megawati menunjuk Ganjar Pranowo sebagai calon presiden 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan PDIP ini tak mengejutkan. Sejak 2021, pelbagai lembaga survei menempatkan Gubernur Jawa Tengah itu dengan popularitas tiga besar, saling salip dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan mantan Gubernur Jakarta, Anies Baswedan. Popularitas Ganjar, menurut survei Indikator Politik Indonesia, hanya turun 8,1 persen menjadi 19,8 persen pada Februari 2023 setelah ia menolak tim nasional Israel bermain dalam Piala Dunia U-20.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bisa saja publik kecewa atas sikap Ganjar itu. Orang Indonesia menyukai sepak bola. Penolakannya terhadap Israel, yang berujung pada batalnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20, membuat kita kehilangan hiburan massal itu. Tapi, bagi juragan partai, sikap Ganjar itu menunjukkan loyalitas kepada partai. Berdalih menerapkan ajaran Sukarno, PDIP menolak kedatangan tim Israel ke Indonesia.
Ganjar telah lulus tes loyalitas, meski ia berseberangan dengan keinginan Presiden Joko Widodo yang ingin menutup masa kekuasaannya dengan pesta sepak bola. Pengumuman Megawati mencalonkan Ganjar Pranowo menjadi calon presiden dari PDIP menegaskan bahwa ia ingin menunjukkan kuasa dalam menentukan segalanya.
Calon presiden dari PDIP, sebagai partai dengan suara terbanyak, akan menentukan kontestasi politik Indonesia tahun depan. PDIP satu-satunya partai yang tak perlu menjalin koalisi dengan partai lain untuk menunjuk kadernya menjadi calon presiden. Kenyataan ini akan kian menunjukkan bahwa penguasa Indonesia hanya ditentukan oleh satu orang atau sejumlah kecil elite politik, seperti Megawati Soekarnoputri dan keluarganya.
Jikapun Ganjar kelak terpilih menjadi presiden, nasibnya tak akan berbeda dengan Jokowi. Meskipun mengusung tema berpihak kepada wong cilik, serta menggaet para aktivis politik dan lingkungan ke dalam lingkaran kekuasaannya, toh kebijakan-kebijakan Jokowi bertolak belakang dengan cita-cita reformasi tentang demokrasi, peran masyarakat sipil, pemberantasan korupsi, serta perlindungan terhadap lingkungan.
Jokowi mempelopori pemberangusan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia pula yang merancang Undang-Undang Cipta Kerja yang berpihak kepada investor dan pemodal besar yang mengancam lingkungan serta hak asasi manusia. Kebijakan-kebijakan Jokowi selama dua periode menjabat presiden tunduk dan patuh pada oligark yang menyetir partai jauh di belakang. Nawacita dan cita-cita indah tentang Indonesia yang demokratis pupus di tangannya.
Namun para oligark tak akan menaruh telur di satu keranjang. Karena itu, tiga nama paling populer sebagai kandidat presiden itu juga tak terlepas dari pengaruh oligark. Biaya politik yang besar di Indonesia membuat para calon akan mengemis biaya kepada para pebisnis untuk kelak ditukar dengan kemudahan berinvestasi, kebijakan yang menguntungkan mereka, atau konsesi sumber daya alam.
Ketergantungan para calon presiden terhadap para pemilik partai dan pemodal membuat visi-misi mereka hanya bagus di atas kertas atau saat debat kandidat di stasiun televisi. Pada praktiknya, saat menjabat, mereka akan lupa pada janji mereka karena energi mereka habis untuk melayani tagihan oligark selama masa kampanye. Para kandidat akan semakin lemah di hadapan para oligark jika mereka tak menjadi pemimpin atau menguasai partai politik.
Dengan situasi seperti itu, kita tak punya harapan presiden mendatang bisa mengakhiri konflik Papua dengan elegan. Dengan cengkeraman oligark yang sedemikian kuat, kita tak bisa berharap presiden mendatang punya kebijakan cerdas untuk mencegah kerusakan lingkungan yang kian masif. Mereka malah mungkin akan menemukan cara lebih ampuh untuk melumpuhkan kritik dan meminggirkan peran masyarakat sipil yang berusaha mencegah Indonesia mundur ke era otoritarianisme.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo