Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CERITA penangkapan kepala daerah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tak pernah khatam. Komisi sudah menangkap lebih dari sepuluh gubernur, bupati, dan wali kota pada paruh pertama tahun ini, tapi tetap saja para pelaku tindak pidana kejahatan luar biasa itu tak kenal jera. Bahkan qanun atau undang-undang tertinggi yang memuliakan moralitas dalam kehidupan syariah diterabas begitu saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penangkapan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Bupati Bener Meriah, Aceh, Ahmadi, yang diduga menerima dan memberi suap, mencerminkan ironi itu. KPK bahkan mengindikasikan bahwa keduanya melakukan penyalahgunaan wewenang penggunaan dana otonomi khusus. Dana ini semestinya dipakai terutama untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat, pengentasan penduduk miskin, pendanaan pendidikan, dan kesehatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KPK menyebut Ahmadi memberikan uang Rp 500 juta kepada Irwandi sebagai uang pangkal ijon proyek infrastruktur dari total fulus Rp 1,5 miliar yang dijanjikan. KPK menduga pemberian itu merupakan bagian dari suap delapan persen untuk pejabat Aceh dari setiap proyek yang dibiayai dana otonomi khusus.
Dana otonomi merupakan bagian dari Perjanjian Helsinki pada 2005 untuk menghentikan konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka dan pemerintah pusat. Anggaran itu dialokasikan sepanjang 2008-2027. Besarnya setara dengan dua persen dana alokasi umum nasional. Sejak 2017, dana itu mencapai lebih dari Rp 8 triliun, naik dari tahun-tahun sebelumnya. Hingga 2018, Aceh telah menerima dana ini sekitar Rp 64 triliun.
Sebagai "alat peredam" separatisme, dana itu jelas sudah bermasalah sejak awal. Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, misalnya, pernah menemukan pengawasan dana otonomi khusus di Aceh dan Papua yang longgar setelah muncul ancaman isu-isu merdeka. Tata kelola anggarannya pun amburadul. Di Papua, dana ini bahkan kadang dianggap sebagai uang pribadi oleh elite politik setempat.
Penggunaan tak tepat sasaran juga terjadi di Aceh. Jika dilihat dari indeks kemiskinan, misalnya, Aceh menempati nomor urut pertama sebagai provinsi termiskin di Sumatera atau berada di peringkat keempat dalam daftar provinsi pada 2017. Setidaknya 800 ribu dari total 5 juta penduduk Aceh terhitung miskin. Bahkan ekonomi Aceh hanya tumbuh 4,2 persen atau di bawah angka pertumbuhan ekonomi nasional. Padahal, dengan berlimpahnya uang dan kekayaan alam, laju pertumbuhan ekonomi Aceh seharusnya bisa melebihi target nasional.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sebetulnya sudah mengamanatkan bahwa pengelolaan dan pertanggungjawaban penggunaan dana otonomi khusus mesti diatur dalam Qanun Aceh-bukan melalui peraturan gubernur. Tapi Pasal 11-A Qanun Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Qanun Nomor 2 Tahun 2008 tentang Penggunaan Dana Otonomi Khusus mengembalikan kewenangan gubernur dengan menyebutkan kriteria program yang dibiayai dana ini ditetapkan dalam peraturan gubernur. Pengembalian wewenang kepada gubernur ini memantik cemburu para bupati dan wali kota serta membuka penyalahgunaan gubernur.
Siapa pun pemegang kuasa atas dana otonomi khusus, sudah saatnya keberadaan anggaran itu ditinjau kembali. Kebutuhan daerah atas biaya pembangunan hendaknya dikembalikan ke mekanisme yang umum berlaku. Bersama daerah lain di Indonesia, Aceh dan Papua adalah bagian Republik yang harus diperhatikan pemerintah pusat.