Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Kandidat Kelontong Pilkada DKI

19 Maret 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA nama Faisal Basri dan Joko Widodo muncul dalam bursa calon Gubernur DKI Jakarta, terbitlah harapan kita akan pemimpin Ibu Kota yang bagus.

Faisal ekonom dan aktivis antikorupsi yang rekam jejaknya diyakini tanpa cela. Joko Widodo Wali Kota Solo dua periode yang terbukti sukses membenahi pedagang kaki lima tanpa gejolak. Ia bersih. Ia punya gagasan: salah satunya Esemka, kendaraan buatan siswa kejuruan yang kini dipromosikannya menjadi mobil nasional.

Harapan itu memang harus diperjuangkan—untuk tidak mengatakan redup atau layu sebelum berkembang. Faisal, yang maju dari jalur independen, masih harus bergelut dengan waktu yang kian sempit untuk menambah dukungan yang disyaratkan undang-undang. Joko Widodo besar kemungkinan tak bisa bertarung karena Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, tempatnya bernaung selama ini, lebih memilih bergabung dengan Fauzi Bowo, inkumben yang disokong Partai Demokrat.

Kita menyesali kabar PDIP lebih memilih dana segar sebagai mahar ketimbang bersusah payah memajukan calon yang punya integritas. Menerima pinangan Fauzi Bowo memang lebih "mudah" dan "menguntungkan" ketimbang mengusung Joko Widodo. Yang kedua mengeluarkan biaya; yang pertama justru mendatangkan rezeki nomplok. Mengutip seorang petinggi partai, PDIP yang membutuhkan banyak dana untuk Pemilu 2014 tak ingin menerapkan peribahasa: melihat pungguk di dahan, punai di tangan dilepaskan.

Di sini tampak jelas, dalam menetapkan kandidat Gubernur DKI, partai politik lebih mempertimbangkan urusan perut ketimbang niat baik memperbaiki Ibu Kota. Fauzi Bowo disokong Partai Demokrat, meski kinerjanya lima tahun terakhir jauh dari mengesankan. Ia gagal mengurai kemacetan. Ia membiarkan mal dan pusat belanja menjamur—proyek yang dituding menjadi biang kacaunya lalu lintas dan berkurangnya ruang terbuka hijau.

Partai Golkar menyokong Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin, meski di daerahnya ia tak banyak berprestasi. Nama Alex disebut terpidana korupsi Wisma Atlet sebagai salah satu penerima suap proyek itu. Alex pernah diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi meski statusnya sebatas saksi.

Popularitas dan elektabilitas juga bukan pertimbangan utama. Dalam kasus Golkar, kandidat lain, Tantowi Yahya, tak dipilih meski ia lebih populer ketimbang Alex. Secara resmi Golkar menolak Tantowi karena ia dinilai tak punya kemampuan menggaet koalisi—sesuatu yang dibutuhkan Beringin karena partai itu tak punya cukup kursi untuk mengusung kandidat sebatang diri. Tapi inilah statemen yang dilunakkan. Sejatinya, Golkar melihat Tantowi tak cukup bakir mempersembahkan "mahar" kepada partai lain.

Sungguh disesalkan, partai politik bukannya berlomba-lomba menyajikan kandidat terbaik sebagai Gubernur DKI. Sebagai ibu kota, Jakarta adalah etalase. Partai yang kandidatnya sukses membenahi DKI mudah meyakinkan publik mampu membenahi Republik, katakanlah dalam kampanye Pemilu Presiden 2014.

Sejumlah persoalan Ibu Kota—kemacetan, tata kota yang amburadul, banjir—semestinya menjadi tantangan bagi kandidat untuk mengasah diri. Mengelola DKI membutuhkan kecakapan manajemen, kemampuan menerapkan kebijakan publik yang tepat, serta keluwesan mengelola hubungan pemerintah dan DPRD. Sukses kandidat partai memimpin Jakarta bisa dipakai untuk membuktikan bahwa partai bukan semata warung kongko para koruptor, melainkan institusi tempat menggodok calon pemimpin.

Semua kesempatan emas itu dilewatkan. Partai politik memilih berpikir seperti pedagang kelontong: menggunakan sedikit modal untuk dengan lekas mengumpulkan untung. Persoalan laba kemudian melibatkan pemain lain, yakni para bohir—kelompok penyandang dana yang siap menagih konsesi setelah kandidat terpilih. Anggaran pendapatan dan belanja DKI yang jumlahnya Rp 36 triliun jadi taruhan. Kebijakan publik diatur oleh para tauke.

Pilkada DKI sudah di depan mata, politik transaksional sudah terjadi. Untuk masa mendatang, perlu dipikirkan pengaturan lebih terperinci mengenai dana pemilihan kepala daerah. Audit forensik harus dilakukan terhadap brankas partai politik, kandidat, atau orang di sekeliling kandidat sampai lapis terluar. Transaksi mencurigakan harus ditelisik, dan jika terbukti ada penyelewengan, pemiliknya harus dihukum. Aturan yang lebih tegas perlu dibuat untuk menghukum kandidat yang terbukti main sabun.

Tanpa kandidat yang bersih dan cakap, pemilu DKI pada Juli mendatang kuat diduga cuma meningkatkan jumlah golongan putih. Sekelompok orang yang memilih untuk tidak memilih—aksi yang tak patut disesalkan setelah kita tak melihat jalan lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus