Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Kanonade buat zus euis

Pak simon lumban tobing, seorang komandan batalyon perang, di pancung kepalanya oleh sesama bangsa, di singapura. kejadian itu tetap dianggap keterlaluan oleh zus euis, perawat yang ikut perang.

8 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LANTUNG-LANTANG petasan itu bukan bikinan Euis, tapi tetangga. Euis cukup nonton saja, dan buat para sontok akal itu ini rupanya agak aneh. "Tidak punya mercon bu?" tanya seorang sepatu kiker. Euis tersenyum seraya menggelengkan kepala yang sudah mulai beruban itu. Eh, si kepala angin kiker itu masih juga bertanya "Kenapa". Kenapa? "Ah, tidak biasa saja," begitu Euis. "Ya, tapi dulu waktu masih muda?" desak si seluar paku dan si kaos sang migel. Lho, justru di waktu mudanya itulah anak-anak seangkatan Euis tidak pernah membakar mercon. Apa takut polisi? Ah, kok polisi. Larangan saja tidak ada. Tapi ini toh "tradisi", bu? Mana ada Lebaran tanpa petasan? Ah, berlebaran saja tidak, kata bu Euis mengenang jaman dulu. Ini baru berita. Si kiker dan si paku dan sang miguel tentu minta penjelasan. Mau tak mau Euis mesti membuka dongeng sasakala. Katanya sebagai gadis dia selalu bergaun putih. Maklum? jururawat. Maka itu dia selalu dipanggil "zus Euis". Di rumah sakit mana zus? Di kampung di gunung di hutan, pokoknya di medan perang. Ei, ei, zus tuis ikut perang? Iya dong. Anak-anak jaman perang ini tidak menyulut mercon. Tidak ada yang minta mercon. Anak-anak minta pestol dan senapan. Pedang atau sangkur jadilah. Tapi semua punya buah nenas yang tidak bisa dimakan, sebab bisanya cuma meledak. Kalau mereka mau pergi lalu bertanya, bawa nenas berapa?" itu tandanya mereka mau pergi perang. Si paku keling--dia itu nona geulis--nyeletuk: "Ah, ibu bohong. Masa mereka itu anak-anak?" Baru sekaranglah zus Euis tertawa gelak-gelak. "Aduh, kalian itu terlalu banyak nonton TVRI dan film nasional! Sebetulnya setengah dari jumlah pejuang kemerdekaan itu umurnya baru belasan tahun saja. Banyak sekali yang masih murid SMP dan SMA. Mahasiswanya cuma sedikit. Jadi mana bisa mereka itu raksasa brewok semua?" Para gondrong melongo dan geleng kepala. Apa betul? + Ya, kalau jaman sekarang anak-anak mah cuma kebagian peran setan jalanan minggat dan raja disko mabuk. Yang mengabdi tanah air tidak ada. Nggak usah bawa bedil. Tuh, seperti zus Euis dulu, cuma iku pak Tobing saja, naik-turun gunung, kerja membalut dan mengobati dan masak dan ngangkat barang, melihat perut robek dan kaki remuk dan sebagainya. -- Pak Tobing? Wah, orang galak dong! Batak sih . . . + Ee ee, jangan prasangka ya! Pak Simon Lumbantobing itu orang yang paling baik hati di dunia. Biar dia itu komandan batalyon pelopor dan se]alu di garis depan, tapi dia tidak pernah gondrong dan brewok. Tidak pernah berteriak dan garang. Bicaranya selalu lembut, senyumnya banyak. Dan gantengnya bukan main! Kalau sekarang sih mirip Roy Marten. Sungguh mati! Cuma kerjanya tidak ranjang-ranjangan. Pacaran saja hampir tak pernah Perang saja yang diutamakannya. Tapi pacar sih punya, dan cantiknya seperti Tanty Yosepha. Tidak boleh kumpul di garis depan. Nah, pak Tobing juga satu-satunya mahasiswa di batalyon. Bekas mahasiswa kimia Fakultas Teknik Bandung. Dan satu-satunya Batak di dalam batalyon yang sebagian besar Sunda tambah beberapa Jawa. Dan saya kira juga satu-satunya Kristen, sebab anak buahnya Islam semua. Tapi pak Tobing tidak punya pici militer. Dia selalu pakai fez, topi orang Islam. Dia . . . -- Aduh ibu ini kalau mendongeng jangan ngawur dong. . + Tuh, tidak percaya ya? Padahal semua itu fakta. -- Bu, dulu tidak takut kena tembak? + Ee ee! Zus Euis ini pernah beberapa kali dapat hadiah kanonade dari Belanda. Misalnya waktu di Ujungberung dan Rancaekek. Tahu kanonade? Itu hujan peluru meriam. Takut tidak takut, ya semua itu kita terima saja sebagai gaya hidup jaman revolusi. Zus Euis mah lebih suka hidup begitu daripada nongkrong di tempat aman. Lebih suka makan dari besek. Tidur di atas tikar di lantai di rumah kampung. Tidak ada listrik. Tidak nonton bioskop dan macam-macam lagi. Tidak disko-diskoan. Kalau malam-malam bisa ngobrol dan nyanyi dan senda-gurau, itu sudah nikmat sekali. Keluyuran tidak pernah, . . . -- Cuma kalau Lebaran tentu pulang ya bu? + Pulang? Kok enak. Masak medan perang mau ditinggalkan begitu saja? Di Batalyon pelopor tidak ada yang pulang! -- Tapi setidaknya istirahat kalau sedang bulan puasa ya bu . + Aduuuh . . . ! Kalian ini kok susah mengerti ya. Musuhi tidak mau tahu apa kita ini puasa atau tidak. Jadi puasa nggak puasa kita ya tetap kerja dan tetap perang saja. Bayangin kita ini dulu minta liburan puasa lantas pulang kampung semua. Wah, negara ini bakal tidak lahir-lahir saja! -- Kalau begitu, enakan jaman sekarang ya bu? + Tanpa mercon lebih enak. -- Eh, kenalin dong sama itu Tobing bu! Katanya cakep? Mana alamatnya? Maka zus Euis terdiam. Air matanya mulai menitik. Bukan karena Tobing itu beristirahat di Taman Pahlawan, ucapnya dengan lirih tertahan-tahan. Tapi karena dia dibunuh dan dipancung kepalanya oleh sesama bangsa yang disangkanya sesama pejuang. Buat zus Euis yang wanita, peristiwa yang menimpa komandannya di Singaparna ini masih selalu keterlaluan saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus