Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMAJUAN teknologi telah merambah hampir semua sendi kehidupan manusia. Teknologi terbukti membebaskan kita dari kesulitan yang dulu sering kita hadapi. Dari urusan pencarian data dan informasi, pemesanan barang dan/atau jasa, hingga pelayanan di sektor kesehatan yang berhubungan dengan nyawa manusia. Pelaku usaha yang mampu beradaptasi, bahkan memanfaatkan teknologi untuk mengkapitalisasinya dalam urusan bisnis, saat ini mendominasi wajah jajaran orang terkaya di dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyebab cepatnya perkembangan bisnis berbasis teknologi digital adalah kemampuan para pelaku usahanya dalam memonetisasi data dan informasi dari pengguna aplikasi atau platform. Namun, ibarat koin yang memiliki dua sisi, ternyata perkembangan teknologi yang demikian pesat juga menimbulkan dampak buruk yang cukup mengkhawatirkan apabila disalahgunakan. Dalam bidang perekonomian dan bisnis, misalnya, penyalahgunaan teknologi dapat menciptakan distorsi dan penyalahgunaan posisi dominan oleh perusahaan berbasis teknologi atau platform digital.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pesatnya perkembangan industri digital faktanya cukup membuat kerepotan otoritas persaingan usaha di dunia. Pasalnya, pendekatan konvensional yang selama ini digunakan dirasa tidak cukup kompatibel dalam menilai ada atau tidaknya pelanggaran hukum persaingan usaha.
Karena itu, muncullah intervensi-intervensi dari sejumlah otoritas, terutama untuk menyikapi perkembangan ekonomi digital yang terus bertumbuh. Salah satu bentuk intervensi itu adalah Digital Market Act yang dirilis Uni Eropa. Regulasi Undang-Undang Pasar Digital ini merupakan serangkaian aturan bagi perusahaan Internet yang mengontrol akses data dan platform. Margrethe Vestager, Kepala Antitrust Uni Eropa yang mengusulkan Undang-Undang Pasar Digital Uni Eropa, ingin regulasi tersebut menciptakan pasar yang adil dalam dunia digital.
Kolusi Bisnis di Era Digital
Kemampuan memonetisasi data dan informasi diyakini dilakukan dengan menggunakan algoritma tertentu hingga memanfaatkan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Menurut Wilson and Keill (1999), algoritma adalah daftar operasi sederhana yang jelas dan tepat yang diterapkan secara mekanis serta sistematis pada sekumpulan obyek. Sederhananya, algoritma merupakan sekumpulan instruksi yang berjalan secara otomatis.
Sementara itu, AI adalah sekumpulan sistem komputer atau mesin yang dibekali dengan kecerdasan seperti manusia. Pelaku usaha memanfaatkan algoritma di antaranya untuk membuat prediksi langkah bisnis, mengoptimalkan proses bisnis, hingga menyesuaikan harga secara otomatis. Adagium "the man behind the gun" menjadi sangat relevan jika dikaitkan dengan penggunaan algoritma dan AI. Sebagai sebuah "senjata", algoritma dapat dimanfaatkan untuk tujuan yang merugikan. Bergantung pada bagaimana pemakaiannya.
Dalam persaingan usaha, dikenal terminologi tacit collusion (kolusi diam-diam). Biasanya tacit collusion dilakukan pelaku usaha dengan pesaingnya saat melakukan kartel. Pada bisnis konvensional saja, praktik tacit collusion sangat sulit dan kompleks untuk dibuktikan. Bagaimana jadinya jika tacit collusion dilakukan pada era ekonomi digital saat ini? Misalnya, kolusi dilakukan antarmesin dengan algoritma dan/atau AI.
Menurut Borenstein (1997), teknologi komputer yang mampu merespons secara cepat telah mengaburkan arti kesepakatan dan mempersulit otoritas antimonopoli membedakan kesepakatan publik dengan komunikasi antar-pesaing. Pelaku usaha yang melakukan kolusi atau kartel dapat berlindung dengan dalih bahwa kebijakan perusahaan yang diambil, seperti soal penetapan harga, dilakukan menggunakan algoritma dan tanpa adanya komunikasi atau pembahasan bersama pesaing usaha. Pendeknya, mereka bersembunyi di balik mesin.
Dalam teori pembuktian kartel, dikenal istilah analisis meeting of minds atau pertemuan kesamaan kehendak antar-pelaku usaha. Salah satu hal yang dianalisis dalam meeting of minds adalah kesamaan pola pengambilan kebijakan dengan memperhatikan situasi atau keadaan ekonomi/bisnis tertentu dalam suatu industri. Salah satu bukti yang digunakan adalah circumstantial evidence atau lazim disebut sebagai bukti tidak langsung. Bukti ini dibagi menjadi dua, yakni bukti komunikasi dan bukti ekonomi.
Pentingnya Audit Algoritma
Dengan penggunaan algoritma dan AI sebagai sarana untuk melakukan kolusi atau kartel, pendekatan meeting of minds dapat diduplikasi dengan modifikasi yang adaptif menjadi meeting of algorithm. Pertanyaannya, bagaimana penerapan konsep tersebut dilakukan? Apakah juga dilakukan menggunakan algoritma atau AI tertentu? Apakah pembuktian ini dapat diterima jika diterapkan? Apa dasar hukum penerapan pembuktian ini? Dan serangkaian pertanyaan lain mengenai penerapan meeting of algorithm sebagai mekanisme pembuktian dalam praktik kolusi atau kartel pada era digital.
Beberapa otoritas persaingan usaha di dunia telah mengembangkan suatu mekanisme deteksi kartel dengan memanfaatkan teknologi. Spanyol, misalnya, melalui Spanish National Markets and Competition Commission (Komisi Pengawasan Persaingan Usaha Spanyol) telah mengembangkan sistem deteksi khusus untuk mengetahui persekongkolan tender pada pengadaan barang dan jasa di negaranya. Kemudian Korea Selatan melalui Korea Fair Trade Commission telah mengembangkan sistem serupa sejak 2006. Meskipun situasinya berbeda, apa yang dilakukan Spanyol dan Korea Selatan itu dapat menjadi contoh bagaimana teknologi dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi adanya praktik kartel.
Hal lain yang mungkin bisa diterapkan adalah mengaudit penerapan algoritma oleh suatu perusahaan digital. Penerapan audit algoritma ini tentu membutuhkan dasar hukum yang kuat sehingga dapat menjangkau dan memudahkan pengawasan terhadap kegiatan ekonomi, bisnis, dan perdagangan yang sudah berkembang sedemikian pesat.
Diskursus ini sangat menarik untuk dibicarakan bersama oleh para pemangku kepentingan. Dari akademikus, lembaga berwenang, hingga tentu saja para pelaku usaha di sektor digital. Kemajuan teknologi harus tetap dibarengi dengan persaingan usaha sehat dan pelindungan kepada masyarakat. Pada saat bersamaan, aturan yang ada tidak boleh membelenggu inovasi dan kelenturan industri digital untuk berkembang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.