Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
KEKACAUAN pembagian bantuan sosial untuk menahan laju pelemahan ekonomi akibat pandemi virus corona di Jakarta karut-marut. Padahal hal tersebut bisa dihindari seandainya pemerintah DKI bersikap rendah hati dengan mengajak para pengurus RT menyuplai data penerimanya. Kepongahan membuat Dinas Sosial DKI begitu saja menyalurkan bantuan berdasarkan data Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik. Akibatnya, masyarakat yang tak berhak justru mendapatkan bantuan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dari mana asal data itu? Dinas Komunikasi mengutipnya dari data terpadu kesejahteraan sosial. Menurut data tersebut, terdapat 1,2 juta orang miskin di Jakarta yang perlu bantuan karena tak bisa bekerja akibat kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Mereka pulalah yang selama ini menerima Kartu Lansia, Kartu Jakarta Pintar, dan bantuan pangan. Kini data itu terbukti tak akurat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Banyak wilayah melaporkan keluarga yang mampu secara ekonomi justru memperoleh bantuan ini. Sedangkan tetangganya yang miskin malah tak masuk daftar. Pandemi corona tak hanya mengubah tabiat penduduk kota akibat pembatasan sosial dan jaga jarak, tapi juga sekaligus mengungkap borok birokrasi dalam mengumpulkan dan memanfaatkan data sebagai basis kebijakan publik. Selama ini Jakarta memakai data yang keliru untuk kesejahteraan sosial.
Di Indonesia, integrasi data merupakan urusan yang pelik. Korupsi dan kepentingan politik memainkan peranan dalam pemilahan data untuk keperluan elektoral. Padahal, ia menjadi tulang punggung kebijakan publik di mana pun. Tanpa data yang akurat, kebijakan publik yang memakai uang pajak akan terhambur sia-sia. Dalam hal wabah corona, kebijakan bantuan sosial akan meleset karena masyarakat yang hendak ditolong tak akan mendapatkan manfaatnya. Akibatnya, ekonomi tetap melemah, problem sosial akan makin kusut.
Pemerintah DKI Jakarta, dan daerah mana pun yang memakai kebijakan bantuan sosial di masa pandemi, mesti membereskan data lebih dulu sebelum menyalurkan bantuan sembilan bahan pokok agar tak salah sasaran. Salah satunya memakai tangan pengurus RT. Satuan terkecil pemerintahan inilah yang paham penduduk mana saja yang mesti menerima bantuan. Asalkan tata cara pengajuan datanya dibuat transparan dan rigid, peluang korupsi pengurus RT bisa diminimalkan.
Caranya adalah memakai tangan birokrasi secara berjenjang dalam pengawasan sehingga data penerima bantuan benar-benar datang dari bawah, bukan penentuan dari atas yang sarat akan kepentingan politik. Di masa pandemi yang menuntut kerja cepat dan akurat, transparansi data merupakan hal krusial, termasuk bagaimana data dikumpulkan dan bantuan didistribusikan.
Jakarta adalah cermin bagi daerah lain. Dengan teknologi yang memungkinkan serta kecanggihan telekomunikasi yang tersedia, Jakarta semestinya bisa lebih rapi dalam membuat kebijakan yang menyangkut data penduduk. Jika Ibu Kota saja kacau-balau dalam menangani wabah corona, daerah lain yang infrastrukturnya tak selengkap Jakarta akan lebih kacau lagi.
Pandemi tak hanya harus ditangani segera, tapi juga mesti melibatkan publik untuk terlibat bersama.