Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENYELEWENGAN donasi publik oleh para petinggi Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) membuka mata kita betapa lebar celah korupsi melalui kegiatan filantropi. Pengumpulan sumbangan dan kegiatan relawan, yang semestinya tindakan mulia, ternoda oleh pengelola donasi yang mata duitan. Mereka leluasa menilap uang sumbangan karena regulasi belum mengatur akuntabilitas pengelolaan dananya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Liputan majalah Tempo pekan ini mengungkap sejumlah penyimpangan pengelolaan sumbangan di ACT. Santunan dari Boeing untuk korban jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 rute Jakarta-Pangkalpinang pada 29 Oktober 2019 sebesar Rp 135 miliar tak seluruhnya menjadi 91 sekolah seperti diminta para keluarga korban. Ada juga manipulasi sumbangan untuk lumbung ternak di Blora senilai Rp 6,5 miliar.
Penyelewengan itu terjadi karena ACT menggaji para petingginya terlalu besar. Mereka mendapat upah ratusan juta rupiah tiap bulan. Belum lagi pemakaian dana sumbangan untuk keperluan gaya hidup petinggi ACT dan keluarganya.
Sumber uang hidup bermewah-mewahan petinggi ACT adalah pemotongan dana sumbangan. Peraturan Pemerintah Nomor 29/1980 sudah mengatur lembaga pengumpul donasi boleh memotong sumbangan maksimal 10 persen untuk dana operasional. Di ACT, seperti temuan Tempo, pemotongan donasi bisa sampai 40 persen.
Praktik penyelewengan ini sudah lama terjadi. Pengelola ACT terbelah sehingga mereka yang gerah terhadap Ahyudin, pendiri dan Presiden ACT, memintanya mundur. Keuangan lembaga ini limbung dan meninggalkan “utang” donasi miliaran rupiah akibat penyelewengan untuk membiayai gaya hidup royal para petinggi ACT dan keluarganya.
Untuk mencegah penyelewengan dana donasi oleh lembaga pengelola, resepnya mudah saja: tegakkan hukum. Kita sudah punya aturan cukup lengkap, meski belum sepenuhnya menutup celah korupsi. Tapi korupsi selalu bisa terjadi meski proteksinya superketat. Banyak regulasi tanpa audit dan penegakan hukum membuat aturan hanya jadi macan kertas.
Edukasi agar masyarakat lebih hati-hati berdonasi juga penting. Para ulama, guru, dan tokoh-tokoh publik, selain menyiarkan anjuran bersedekah, perlu mengimbanginya dengan imbauan kepada orang banyak agar tak sembarangan memilih lembaga pengumpul donasi. Soalnya, menurut World Giving Index 2021 Charity Aid Foundation, penduduk Indonesia paling dermawan di dunia. Riset ini mencatat delapan dari sepuluh orang Indonesia bersedia berdonasi untuk kegiatan amal dan 65 persen rela membantu orang tak dikenal.
Ajaran agama dan budaya tolong-menolong di Indonesia membuat donasi menjadi bisnis menggiurkan. Lemahnya penegakan aturan mendorong pengelolanya menyelewengkan dana besar itu. Transparansi adalah kunci agar pengelolaan dana donasi lebih prudent. Regulasi perlu menambahkan standar akuntabilitas dalam ketentuan ini dengan sanksi berat jika pengelola donasi melanggarnya. Misalnya, tak boleh lagi terlibat urusan-urusan penyaluran sumbangan jika terbukti memain-mainkan sumbangan.
Jika semua saran ini terdengar klise, barangkali karena kita hidup di Indonesia yang pemerintahnya tak peduli, yang masyarakatnya tidak mementingkan transparansi urusan-urusan publik. Kita baru heboh ketika ada hal-hal yang tak patut terungkap, tanpa berupaya serius memperbaikinya untuk mencegah hal yang sama terulang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo