Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Di KPK, kode etik sudah menjadi barang langka.
Digerogoti dari dalam, KPK pun kehilangan marwahnya.
Yang terjadi di KPK akhir-akhir ini hanyalah ekor persoalan.
BISA jadi urat malu Lili Pintauli Siregar sudah putus ketika Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu menerima dugaan gratifikasi dari Pertamina. Bukannya langsung menolak pemberian tiket perhelatan MotoGP Mandalika, Lili justru ditengarai juga menginap secara cuma-cuma selama sepekan di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Tindakan Lili menerima fasilitas gratis itu menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak memiliki etika.
Padahal kode etik merupakan jantung KPK. Maka, sudah sepantasnya pimpinan KPK beserta pegawainya merawat prinsip-prinsip yang termuat dalam kode etik tersebut. Tapi, di era Ketua KPK Firli Bahuri, kode etik sudah menjadi barang langka. Tak mengherankan bila perilaku lancung petinggi dan personelnya silih berganti mencoreng wajah komisi antirasuah. Digerogoti dari dalam, KPK pun kehilangan marwahnya.
Dugaan pelanggaran kode etik ini mencuat setelah Dewan Pengawas KPK menerima laporan masyarakat perihal perilaku lancung tersebut. Untuk menelusuri perkara ini, Dewan Pengawas sudah mengumpulkan data dan informasi dari sejumlah orang, termasuk dari pegawai Pertamina. Di tengah proses inilah Lili dikabarkan melaporkan penerimaan tiket MotoGP Mandalika tersebut ke Bagian Gratifikasi KPK untuk menghapus jerat pidana—sesuatu yang semestinya ia lakukan sesaat setelah pemberian fasilitas cuma-cuma tersebut muncul.
Bukan hanya melanggar kode etik, pemberian fasilitas gratis ini juga sarat akan konflik kepentingan. Sebagai pemberi fasilitas, Pertamina merupakan pihak yang tengah beperkara karena sedang menjadi obyek penyidikan KPK. Komisi antikorupsi tengah menyidik dugaan kasus korupsi pembelian gas alam cair Pertamina dari Afrika Selatan yang diduga merugikan negara Rp 2 triliun. Sebagai pemimpin, Lili seperti tidak peduli terhadap pentingnya menjaga jarak dengan pihak yang tengah disidik KPK.
Bagai ikan busuk dari kepala, buruk laku pimpinan KPK ini kian menegaskan bahwa lembaga antikorupsi ini sudah rusak luar-dalam. Buktinya, Lili sudah bolak-balik tersandung kasus etik. Dewan Pengawas KPK hanya menghukum Lili dengan potong gaji ala kadarnya saat dia diketahui pernah menjalin komunikasi dengan pejabat yang terlibat perkara suap. Ketua Firli Bahuri juga pernah dinyatakan melanggar kode etik dalam kasus penggunaan helikopter untuk keperluan pribadi dan hanya dikenai sanksi ringan.
Yang terjadi dengan Firli dan Lili hanyalah ekor persoalan. Asal muasal dari apa yang kita saksikan hari-hari ini merupakan buah persekongkolan jahat pemerintah dan DPR lewat revisi UU KPK pada Oktober 2019. Revisi ini berhasil menyuntikkan racun tepat di jantung KPK. Pegawai KPK yang tadinya independen kini menjadi pegawai negeri di bawah kendali pemerintah.
Kehadiran Dewan Pengawas juga bagian dari skenario pelemahan ini. Bukan hal yang aneh bila setiap pelanggaran kode etik jajaran petinggi KPK hanya dikenai sanksi yang ringan. Kalaupun Dewan Pengawas merekomendasikan agar Lili mengundurkan diri dari posisinya, hal itu tak serta-merta menyingkirkannya dari KPK. Putusan akhir tetap ada pada Lili. Tak ada sanksi etik yang dapat memaksa sekiranya ia memilih bertahan di KPK.
Setelah KPK menjadi bagian dari birokrasi, kita tidak mungkin lagi mengharapkan lembaga ini memiliki prinsip etik yang berbeda dari institusi lainnya. Perilaku pimpinan lembaga ini tidak jauh berbeda dari birokrat pada umumnya yang tidak peduli dengan kode etik. Menaruh harapan pada lembaga antirasuah di era kegelapan ini jelas perbuatan sia-sia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo