Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah mesti mengawal keputusan penyerahan Blok Rokan kepada PT Pertamina (Persero) mulai 2021. Keputusan itu berisiko tinggi. Alih-alih memberikan keuntungan, lapangan minyak di Riau itu bisa membebani Pertamina yang saat ini tengah dililit masalah keuangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Blok Rokan sejatinya adalah ladang minyak dan gas yang cukup tua. Pertama kali dikelola pada 1924 oleh Caltex, blok ini baru bisa berproduksi pada 1952 dengan hasil 15 ribu barel per hari (bph). Caltex, yang kemudian bersalin rupa menjadi Chevron, secara bertahap meningkatkan produksi minyak di dua lapangan utama Rokan, yakni Minas dan Duri, hingga lebih dari 100 ribu bph. Data terakhir, pada semester pertama lalu, produksi Chevron mencapai 207 ribu bph.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tantangan utama Pertamina untuk mempertahankan, dan kalau mungkin meningkatkan, produksi minyak di salah satu ladang terbesar di Indonesia tersebut adalah teknologi dan biaya. Dengan rentang usia operasi yang cukup lama, diperkirakan investasi teknologi di Blok Rokan akan cukup mahal.
Saat mengajukan perpanjangan operasi setelah 2021, Chevron menyatakan akan menerapkan teknologi injeksi surfaktan untuk menguras minyak (enhanced oil recovery/EOR) dengan modal US$ 222 juta atau sekitar Rp 3,21 triliun. Itu pun tingkat pengembalian minyaknya hanya 17-22 persen. Untuk produksi 1,2 miliar barel selama 20 tahun, Chevron menganggarkan investasi US$ 88 miliar atau kurang-lebih Rp 1.275,5 triliun.
Pertamina memperkirakan ongkos investasi untuk mempertahankan produksi Blok Rokan mencapai sekitar Rp 1.015 triliun. Jumlah itu termasuk rencana mengebor 7.000 titik baru. Perrtamina berjanji akan menghasilkan pendapatan US$ 57 miliar atau sekitar Rp 827 triliun untuk negara dalam 20 tahun.
Tentu tidak mudah menanggung beban investasi yang sangat besar itu, di saat Pertamina juga terbebani penugasan di sektor hilir minyak dan gas.
Pemerintah mesti memastikan kesanggupan Pertamina mengelola Blok Rokan. Jangan sampai keputusan menyerahkan ladang minyak dan gas itu kepada Pertamina hanya didasari pertimbangan politik atau alasan naif, seperti mengembalikan kedaulatan negara di sektor energi. Jika hal itu dipaksakan, Pertamina dapat terperosok ke dalam jerat utang yang ujung-ujungnya bakal memberatkan keuangan negara. Sedangkan produksi minyak di Blok Rokan tak tercapai sesuai dengan target.
Jika ada indikasi Pertamina mengalami kelebihan beban dan gangguan pada kinerja keuangannya, jangan menutup opsi untuk bekerja sama dengan pihak lain. Tak perlu jaga gengsi kalau harus kembali menggandeng Chevron. Sebab, selaku operator lama, boleh jadi perusahaan itu punya resep rahasia untuk mengelola Blok Rokan secara efisien.
Hal terpenting dalam pengelolaan sumber daya alam adalah masyarakat dan negara menerima manfaat yang maksimal serta ada kendali atas kualitas lingkungan. Selama pemerintah menerapkan kontrol yang ketat dan mendapatkan bagi hasil yang maksimal, kedaulatan negara di sektor energi pasti terjaga.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo