Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Keadilan dalam Pengadilan Kasus Novel

Rasa keadilan menjadi pertanyaan dalam sidang kasus penyiraman air keras terhadap penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan.

18 Juni 2020 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kurnia Ramadhana
Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch dan Anggota Tim Advokasi Novel Baswedan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rasa keadilan menjadi pertanyaan dalam sidang kasus penyiraman air keras terhadap penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan. Jaksa hanya menjatuhkan tuntutan 1 tahun penjara untuk dua terdakwa yang telah menghilangkan satu mata Novel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Proses persidangan ini memang sedari awal sudah diprediksi banyak pihak akan gagal mengungkap fakta-fakta terkait dengan teror yang dialami Novel. Alih-alih dapat menemukan motif dan auktor intelektualisnya, dua terdakwa yang berasal dari institusi Kepolisian RI itu hanya dikenai tuntutan ringan, sehingga hasil akhir persidangan ini pun dapat diprediksi. Hakim kemungkinan besar akan menjatuhkan hukuman di bawah tuntutan jaksa.

Tim Advokasi Novel Baswedan setidaknya memetakan tiga persoalan krusial dalam persidangan ini. Pertama, konstruksi dakwaan jaksa sudah mengarahkan agar terdakwa dijatuhi hukuman ringan. Kedua terdakwa hanya dikenai pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan yang ancaman hukumannya cukup ringan, dari 2 tahun 8 bulan hingga 12 tahun penjara. Padahal penyiraman air keras itu semestinya dipandang sebagai percobaan pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam KUHP yang ancaman hukumannya mencapai 15 tahun penjara.

Dampak penyiraman itu tidak hanya bisa membutakan mata Novel, tapi juga dapat berpotensi merenggut nyawanya. Kejadian ini sering terjadi. Salah satunya yang menimpa seorang pedagang di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, pada pertengahan Mei lalu. Ia ditemukan sudah tak bernyawa akibat siraman air yang diduga mengandung zat kimia tertentu. Siraman itu mengakibatkan kerusakan serius pada saluran pernapasan dan pencernaan korban, sehingga menimbulkan akibat fatal. Jadi, tidaklah tepat jika jaksa hanya melokalkan perbuatan terdakwa menjadi sekadar penganiayaan.

Kedua, proses unjuk bukti di persidangan berupaya menafikan barang dan saksi penting dalam perkara ini. Misalnya, terdapat sobekan pada baju gamis milik Novel yang dihadirkan di persidangan. Padahal Novel mengaku baju gamisnya masih dalam kondisi baik tanpa ada sobekan. Botol yang digunakan terdakwa untuk menampung air keras juga tidak diperlihatkan di persidangan. Botol itu mempunyai arti penting, setidaknya untuk mencocokkan sidik jari yang menempel dengan sidik jari para terdakwa.

Menurut pengakuan Novel, setidaknya ada tiga saksi yang tidak dihadirkan di persidangan, padahal keterangan mereka dapat memperjelas upaya pembunuhan berencana yang dikerjakan para terdakwa. Namun jaksa malah menganulir dengan tidak meminta keterangan mereka saat proses persidangan. Sebagai penegak hukum, para jaksa seharusnya memahami bahwa esensi persidangan adalah untuk menggali dan menemukan kebenaran materiil. Karena itu, setiap terdapat potensi untuk membuka tabir kejahatan, seharusnya diakomodasi dengan baik.

Ketiga, peran jaksa dalam persidangan ini lebih terlihat seperti pembela para terdakwa. Sudah barang tentu contoh konkretnya adalah ringannya tuntutan yang dijatuhkan kepada terdakwa. Tak hanya itu, saat persidangan dengan agenda pemeriksaan saksi korban pun jaksa malah memberikan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan Novel. Seharusnya jaksa sebagai representasi kepentingan negara dan korban dapat melihat kejadian ini secara lebih utuh, bukan malah memperkeruh suasana dengan mengaburkan fakta.

Tidak hanya terkait dengan kinerja jaksa, pendampingan hukum yang diterima oleh terdakwa pun penting disorot. Bagaimana tidak, dua terdakwa ini langsung diberi pendampingan hukum oleh Markas Besar Kepolisian RI. Padahal institusi itu tidak diwajibkan memberikan pendampingan hukum kepada anggotanya yang sedang menghadapi proses hukum sepanjang yang bersangkutan tidak sedang menjalankan tugas. Jika bantuan ini dipandang sebagai kewajiban, tentu masyarakat akan bertanya: apakah penyiraman air keras ke wajah Novel merupakan bagian dari tugas kepolisian, sehingga kedua terdakwa harus diberi pendampingan hukum oleh kepolisian?

Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 2 Tahun 2017 menjelaskan bahwa, untuk kepentingan pribadi, setiap anggota kepolisian dapat mengajukan permohonan permintaan bantuan hukum kepada instansinya. Jika aturan ini yang menjadi landasan untuk memberikan pendampingan hukum, akan timbul pertanyaan lagi: apa argumentasi logis kepolisian ketika mengabulkan permohonan pemberian bantuan hukum kepada kedua terdakwa?

Dari paparan di atas, harapan masyarakat tertuju pada tiga orang yang menjadi majelis hakim dalam persidangan ini. Jika putusan hakim masih mengikuti pola pikir jaksa, sudah dapat dipastikan bahwa keadilan tidak lagi ada dalam pengadilan Novel.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus