Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APAKAH penyintas dan keluarga korban peristiwa Kanjuruhan harus menunggu 27 tahun untuk mendapatkan keadilan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setahun berlalu, penyelesaian peristiwa Kanjuruhan terkesan setengah hati. Memang ada lima terdakwa yang telah divonis, tapi hukumannya ringan. Seorang tersangka bahkan belum diadili sama sekali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di luar mereka, kelalaian atau bahkan kesengajaan para atasan tak terungkap. Seolah-olah kematian setidaknya 135 orang di Stadion Kanjuruhan, Malang, pada 1 Oktober 2022 yang dipicu tembakan gas air mata polisi tersebut adalah kesalahan lima terdakwa dan satu tersangka belaka. Seolah-olah peristiwa sepak bola paling mematikan dalam setengah abad terakhir itu karena kekeliruan segelintir petugas di lapangan.
Seolah-olah juga kasus selesai begitu mereka dihukum, begitu stadion direnovasi, begitu polisi dan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia memperbaiki prosedur pengamanan. Namun, tanpa keadilan untuk keluarga korban, berbagai upaya tersebut malah mengesankan pemegang otoritas seperti lari dari tanggung jawab.
Karena itu, wajar keluarga korban terus menyuarakan tuntutannya. Di Inggris, keluarga korban peristiwa Hillsborough menunggu 27 tahun untuk mendapatkan keadilan. Korban, yang kebanyakan penggemar klub Liverpool, awalnya disebut tewas karena kesalahan para suporter sendiri. Mereka dianggap tak tertib saat berebut masuk ke Stadion Hillsborough di Sheffield sehingga sejumlah orang terinjak-injak.
Pihak berwenang mengkambinghitamkan suporter selama bertahun-tahun dan menyatakan peristiwa Hillsborough adalah kecelakaan. Karena itu, para penyintas dan keluarga korban menuntut pemerintah menyelidiki ulang peristiwa tersebut. Tuntutan mereka baru dikabulkan pada 2009, ketika pemerintah membentuk panel independen untuk menginvestigasi lagi bencana sepak bola paling buruk di Inggris tersebut.
Pada 2016, hasil penyelidikan menyatakan kematian 97 orang pada peristiwa tersebut diakibatkan oleh kegagalan polisi mengatur kerumunan hingga tak siapnya ambulans. Korban dinyatakan unlawfully killed atau dibunuh secara tidak sah. Pemerintah Inggris pun mengaku bersalah dan meminta maaf.
Apakah penyintas dan keluarga korban peristiwa Kanjuruhan harus menunggu 27 tahun untuk mendapatkan keadilan?
Pada era kiwari, kita tak perlu menunggu selama itu. Ada banyak rekaman video telepon seluler dan kamera televisi yang bisa ditelaah. Ada banyak saksi mata yang masih hidup. Para pelaku pun belum lupa ingatan karena kejadiannya baru satu tahun berselang. Yang menghambat pengungkapan peristiwa ini seterang mungkin adalah minimnya kemauan politik dan defisitnya integritas para pemegang otoritas.
Berikutnya, aparat yang terobsesi menjaga nama korpsnya. Pada hari-hari pertama setelah peristiwa terjadi, polisi menyangkal kematian suporter dipicu gas air. Polisi juga menyalahkan suporter yang turun ke lapangan sebagai penyebab terjadinya insiden. Selanjutnya, polisi mengintimidasi keluarga korban yang menyuarakan tuntutan. Tak mudah bagi penyintas dan keluarga korban untuk mendorong proses hukum ini.
Seperti insiden Hillsborough, peristiwa Kanjuruhan adalah pembantaian, unlawfully killed yang tak boleh dilupakan. Menyebutnya sebagai “tragedi” berarti tidak berpihak kepada korban karena mengaburkan fakta sekaligus menyembunyikan penanggung jawab terbunuhnya mereka.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo