Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Salah Resep Atasi Pengangguran

Tingkat pengangguran di Indonesia masih cukup tinggi. Perlu memperbaiki kualitas pertumbuhan ekonomi.

9 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASA jabatan Presiden Joko Widodo tinggal setahun lagi, tapi tingkat pengangguran di Indonesia masih belum kembali ke level sebelum masa pandemi Covid-19. Pada Agustus 2019, ada sedikitnya 7,1 juta orang Indonesia tanpa pekerjaan. Empat tahun kemudian, pada Agustus 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat pengangguran terbuka di Indonesia masih bertengger di angka 7,86 juta orang atau setara dengan 5,32 persen dari total 147,71 juta angkatan kerja kita.

Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi yang telah kembali ke level normal belum berhasil menyerap tenaga kerja secara optimal. Korelasi antara investasi serta pertumbuhan ekonomi dan penguatan industri dalam negeri yang bisa menyerap tenaga kerja tampaknya terputus. Tengok saja pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2023 yang mencapai 4,94 persen year-on-year. Lalu bandingkan dengan jumlah pengangguran tahun ini yang hanya berkurang 0,56 juta orang dibanding pada setahun lalu. Jelaslah bahwa pemerintah perlu memperbaiki kualitas pertumbuhan ekonomi kita. 

Terlebih, berdasarkan data BPS, jumlah penduduk Indonesia yang bekerja di sektor informal masih mendominasi total tenaga kerja Indonesia. Pada Agustus 2023, tercatat 59,11 persen tenaga kerja kita bekerja di sektor informal. Hanya 40,89 persen yang merupakan pekerja di sektor formal. Artinya, perlu ada reorientasi kebijakan ekonomi dalam satu tahun terakhir pemerintahan Jokowi. Dari semula berfokus mengejar pertumbuhan dari kucuran investasi semata, kini Jokowi perlu menitikberatkan pemerataan kesejahteraan dan perluasan lapangan kerja. Tanpa mengubah orientasi kebijakan ekonomi, angka pengangguran kita terancam terus naik.

Perlu dicatat, langkah pemerintah selama ini menangkal pengangguran terbukti tidak efektif. Contohnya Kartu Prakerja. Semula program tersebut dirancang untuk meningkatkan jumlah sumber daya manusia yang unggul. Sasarannya adalah warga negara berusia minimal 18 tahun yang sedang mencari kerja atau pekerja sektor informal, termasuk para pelaku usaha mikro dan kecil. Bentuk kegiatannya berupa pelatihan keterampilan tertentu sebagai bekal menjadi wirausaha.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sayangnya pemerintah tampaknya tak paham bahwa keadaan sudah berubah. Kita tahu pandemi Covid-19 memaksa banyak perusahaan memecat karyawannya. Angka pengangguran pun melonjak. Namun para pengangguran ini bukanlah pencari kerja yang baru lulus kuliah, melainkan pekerja terlatih yang dipecat. Karena itu, bukan latihan keterampilan yang mereka butuhkan, melainkan informasi mengenai lowongan kerja baru yang sesuai dengan keahlian mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karena itu, cara mengatasi pengangguran tak lagi hanya mengandalkan program Kartu Prakerja. Di akhir masa jabatannya, Jokowi wajib memulihkan kembali perekonomian di sektor padat karya agar banyak perusahaan di bidang manufaktur, misalnya, dapat berjalan kembali dan merekrut karyawan. Di sinilah pemerintah perlu hadir dengan memberikan sejumlah stimulus ekonomi untuk mendorong berbagai bidang industri padat karya agar kembali bangkit.

Walhasil, tidak bisa tidak, fokus pemerintah juga kudu bergeser. Jangan hanya membesarkan sektor ekonomi yang padat modal dan disukai banyak investor, seperti proyek penghiliran mineral, tapi juga perlu masuk dan serius mengawal sektor ekonomi padat karya. Potensi terbesar ada di proyek-proyek pembangunan sektor infrastruktur yang jelas membutuhkan banyak pekerja.  

Perbaikan kualitas pertumbuhan ekonomi juga bisa dilakukan dengan memberikan prioritas pada investasi di sektor riil. Sayangnya investasi yang masuk beberapa tahun terakhir belum sepenuhnya mampu melahirkan program baru yang bisa menyerap tenaga kerja. Malah serapan tenaga kerja di sektor manufaktur terus menurun dari tahun ke tahun.

Tak hanya itu. Pada era kemajuan teknologi yang kian tak terbendung, pemerintah harus memitigasi imbas disrupsi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Digitalisasi dan mekanisme produksi yang memanfaatkan teknologi ini berpeluang besar mengurangi peluang kerja di banyak perusahaan.

Akhirnya Presiden Joko Widodo masih punya banyak pekerjaan rumah. Tanpa perubahan orientasi ekonomi yang mendasar, tak bakal mudah menekan angka pengangguran terbuka hingga sebesar 5 persen pada 2024. (*)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus