Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah berulang kali kebijakan ekonomi diumumkan sebelum tatakan hukumnya dibuat. Pemerintah terlihat amatir: mengeluarkan keputusan tanpa kajian.
Jika pemerintah berniat meminta masukan publik, hal itu semestinya dilakukan sebelum kebijakan diumumkan. Dengan begitu, tak terjadi kegaduhan seperti sekarang. Terlalu sering menarik mundur kebijakan meningkatkan ketidakpastian.
Pengenduran Daftar Negatif Investasi sebetulnya dilakukan untuk memberikan sinyal kepada pasar bahwa Indonesia pro-investasi. Sayangnya, karena proses pengambilan keputusannya keliru, yang muncul justru keributan. Presiden Joko Widodo membatalkan keputusan yang diumumkan Kementerian Koordinator Perekonomian tersebut setelah mendapat tentangan dari mana-mana. Sejumlah pihak berkeberatan terhadap pembukaan investasi asing pada bidang usaha yang banyak digarap usaha mikro, kecil, dan menengah. Bidang ini pun batal dikeluarkan dari daftar usaha yang tak boleh dimasuki dana asing.
Ini kesalahan mendasar manajemen kebijakan publik. Alih-alih memberikan isyarat bahwa pemerintah serius membenahi iklim investasi, kesan yang mencuat adalah pemerintah plinplan. Presiden Jokowi dan pembantunya tak perlu reaktif dan mengakomodasi desakan politik seandainya sejak awal setiap kebijakan dibuat dengan kajian matang.
Dilihat dari pilihan kebijakan, relaksasi Daftar Negatif Investasi memang bukan obat mujarab untuk menyehatkan perekonomian. Defisit neraca pembayaran kita terlalu lebar. Pada triwulan III 2018, defisit transaksi berjalan mencapai US$ 8,8 miliar atau 3,37 persen dari produk domestik bruto, naik US$ 0,8 miliar dibanding triwulan sebelumnya—meski secara kumulatif, dari Januari sampai September, defisit masih 2,86 persen.
Cadangan devisa kita memang masih lumayan, tapi terus menipis. Indikator lain, seperti neraca perdagangan, juga tak menggembirakan. Situasi yang lumayan genting ini semestinya menjadi alarm bagi pemerintah.
Sayangnya, kebijakan pemerintah tak mencerminkan situasi. Misalnya, pemerintah memaksakan diri membayar US$ 3,5 miliar demi mendepak Rio Tinto dari PT Freeport Indonesia. Bila itu terlaksana, dengan kepemilikan mayoritas di Freeport, negara juga menanggung sebagian besar belanja modal. Alih-alih ada investasi masuk setiap kali Freeport mengembangkan bisnis, sebanyak 51 persen biaya harus kita tanggung. Ini bertentangan dengan keinginan menarik investasi demi menyehatkan neraca pembayaran.
Dalam situasi kepepet seperti sekarang, pemerintah mengubah Daftar Negatif Investasi untuk menarik investasi yang bisa jadi tidak terlalu besar. Seandainya berhasil pun, itu tak akan menutup lubang yang menganga dalam neraca pembayaran.
Lagi pula, perubahan Daftar Negatif Investasi belaka sulit untuk menarik duit dari luar negeri. Seolah-olah dana yang siap masuk hanya terganjal oleh Daftar Negatif Investasi. Padahal ada persoalan yang lebih besar, seperti aturan perburuhan yang tak fleksibel. Investor asing takut masuk, antara lain, karena bila usahanya di sini gagal, mereka harus membayar pesangon sebesar 20 kali gaji.
Selain itu, regulasi berubah-ubah. Padahal, bagi investor, kontrak itu suci. Untuk meyakinkan mereka, pemerintah juga mesti menghentikan kebiasaan mencla-mencle. Selain relaksasi Daftar Negatif Investasi, kita lihat contohnya pada batal naiknya harga bahan bakar minyak subsidi sesaat setelah diumumkan. Ada juga maju-mundur proyek pembangunan jalan tol layang Cikampek serta kereta ringan Bekasi-Jakarta dan Cibubur-Jakarta.
Bolak-balik sikap ini membuat kredibilitas pemerintah dipertanyakan. Bagaimana mau menggaet investasi bila pemerintah tak membangun kredibilitasnya? Pembenahan manajemen kebijakan publik ini jauh lebih penting daripada sekadar melonggarkan Daftar Negatif Investasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo