Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Kejarlah Maling, Kau Kujerat

4 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KORUPSI yang dibongkar banyak, koruptor yang dijaring sedikit, yang masuk penjara langka. Gerakan antikorupsi dihadang dilema. Berhenti bergerak pantang. Melangkah lebih lanjut membuat orang makin frustrasi dan bertambah nafsu main hakim sendiri. Gerakan antikorupsi bagaikan bus yang sedang mogok. Tampaknya, saluran solar tersumbat. Pedal gas ditancap. Suara gemuruh mesin pincang diselingi ledakan knalpot. Kendaraan tetap berhenti di tempat. Kejar Maling Kita sudah terbiasa pada praktek membongkar kejahatan korupsi, menunjuk hidung koruptor, dan mengimbau polisi agar menyidik. Pada kebanyakan kasus imbauan tak digubris. Dalam satu-dua kasus penyidikan dilakukan. Perkaranya bahkan sampai ke pengadilan. Tapi biasanya terdakwa bebas murni. Orang tahu, sistem penegakan hukum kita rusak berat. Tiada gunanya terus berharap bahwa suatu sistem yang bobrok akan tiba-tiba berfungsi kembali. Praktek kejar-maling kita tampaknya kurang berhasil. Penelitian komparatif antarnegara menunjukkan bahwa strategi antikorupsi yang mengejar koruptor jarang berhasil. Di India, Bangladesh, dan Pakistan, gerakan korupsi yang menempuh jalan tunjuk-hidung koruptor sempat berhasil. Para pejabat yang dituduh korup diperiksa, diadili, dihukum. Itu biasanya terjadi sewaktu satu rezim diganti oleh rezim lain. Beberapa bulan setelah rezim baru berkuasa, para pejabatnya kembali melakukan korupsi yang sama seperti para pendahulunya yang sudah dipenjarakan. Akhirnya, perlu pula diwaspadai agar tuntutan "kejar-maling" tidak disalahgunakan oleh pemerintah untuk memojokkan lawan politiknya. Pemerintah di negara berkembang tak segan-segan mengorbankan 2-3 pejabat lawan politiknya ke pengadilan, sekadar untuk mengesankan bahwa mereka benar-benar mendukung gerakan antikorupsi. Personifikasi Tahap advokasi gerakan antikorupsi sangat berhasil, tapi sudah kehabisan napas. Tahap itu harus cepat disusul oleh tahap perumusan strategi antikorupsi yang cermat. Saya kurang setuju dengan pandangan yang melihat kegiatan antikorupsi dalam tahap-tahap. Tahap advokasi tidak berhenti untuk disambung oleh tahap perumusan strategi. Advokasi harus terus berjalan dan memberikan masukan kepada tahap penetapan strategi. Yang perlu terus diperbarui adalah bahan yang disampaikan kepada masyarakat luas dalam kampanye antikorupsi. Selama ini publik melihat korupsi seperti menonton berita kejahatan di layar televisi. Duit Bulog diambil tukang pijit Presiden. Anggota DPRD partai A di kabupaten B disogok supaya memilih ketua dari partai C. Semua itu kita saksikan seolah terjadi di luar diri kita. Yang harus dipertanyakan adalah siapa yang mengganti uang yang dikorup sampai Rp 165,85 triliun tahun lalu. Korupsi dilakukan atas dana anggaran belanja negara. Anggaran belanja itu terdiri atas utang luar negeri, pajak, dan hasil kontrak minyak, gas, dan tambang dengan pihak asing. Kontrak dengan perusahaan asing tidak bisa diutak-atik. Utang luar negeri tak mungkin dikemplang. Dari mana gerangan uang dapat diperas? Siapa lagi? Dari pembayar pajak yang itu-itu lagi! Nah, pemerasan itulah yang kini sedang berlangsung. Seirama dengan lagu keroncong, demokrasi pemerasan itu sekarang sedikit diratakan. Rakyat kecil pun harus turut membiayai korupsi melalui pajak atas bunga deposito. Pengusaha, mahasiswa, karyawan, tukang becak, guru, pesuruh, kurir, sopir bus dan taksi, para profesional di sepanjang Sudirman-Thamrin-Kuningan, para artis?semuanya gotong-royong mengongkosi korupsi para pejabat. Antara kita dan korupsi tiada jarak. Penagihan untuk membayar rekening korupsi pasti datang. Tinggal tunggu waktu saja. Pejabat yang korup harus tampak mukanya. Yang membiayai korupsi pejabat tersebut juga kelihatan tampangnya: Anda, kami, kita, saya. Personifikasi ini yang sekarang juga harus dijadikan materi advokasi gerakan antikorupsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus