Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BARANGKALI memang ada yang disebut pornografi kematian. Di
Barat konon kian lama ajal kian jadi pembicaraan tabu. Di dekat
anak-anak kita harus berbisik. Dan bacaan umumpun seakan selalu
menghindari suatu lukisan terperinci tentang detik-detik
terakhir hidup seseorang. Seperti pernah kata seorang penulis
Inggris: dulu orang mengatakan asal-usul adik bayi adalah di
semak-semak kini si bocah dibisiki bahwa kakek yang mati itu
hanya rubah menjadi kembang.
Dan kematian pun makin tertutup, karena ia semakin jarang.
Karena kakek makin panjang umur dan bayi makin jarang mati
(itulah akibat negeri maju) kisah sakaratulmaut pun tinggal jadi
bahan bacaan dalam laci. Adegan ranjang ketika seseorang
tutup-usia dengan demikian jadi pornografi tersendiri.
Dan seperti pada pornografi yang lain, di sekitar ini pun ada
kehati-hatian. Pada gilirannya, kehati-hatian ini juga dekat
dengan hipokrisi. Dan itu sesungguhnya tak cuma menyangkut
kematian yang wajar -- yang datang karena usia atau karena
kanker yang pelan -- tapi juga kematian yang tak ajar tubuh
yang menggelepar di depan tim eksekusi.
Dalam hal sedemikianlah buku yang diterbitkan Amnesty
International, The Death Penalty (1979) adalah sebuah karya
pornografi. Buku setebal 209 halaman ini, merupakan laporan
tentang hukuman mati di pelbagai negara di dunia, hanya berisi
12 gambar. Keduabelasnya fotografi dokumenter yang tanpa warna.
Tapi setelah kita melihatnya, kita pun rasanya ingin cepat-cepat
menyembunyikannya dari jangkauan anak kita.
Ada gambar guillotine di sebuah ruang sempit. Ada gambar sesosok
tubuh duduk di kursi listrik: wajahnya tertutup kain hitam,
seluruh fotonya mengesankan kulit yang hangus. Ada seorang
dengan muka berkernyit tertambat di sebatang tiang, dipotret
pada saat ditembak. Ada lagi deretan tubuh terkulai ke samping:
lubang-lubang pelor menyemburkan darah ....
Seperti halnya pada pornografi yang lain, pornografi ini pun
ingin bercerita detail tentang organ tubuh -- sampai pada taraf
yang hampir menjijikkan.
Anda mungkin pernah melihat reproduksi lukisan Goya tentang
adegan eksekusi dalam revolusi di Spanyol. Betapa bedanya. Sebab
pada karya Goya kematian bukan pornografis: ajal nampak sebagai
bagian dari sebuah adegan yang besar, yang juga luhur. Kematian
itu dengan kata lain, punya grandeur. Tapi bagaimana kita bisa
bicara tentang grandeur dalam sebuah adegan yang lebih realistis
tubuh yang menggeloyor dan jadi kaku?
Mungkin itulah sebabnya eksekusi hukuman mati selalu cenderung
dirahasiakan. Di Prancis, eksekusi di depan umum yang terakhir
terjadi di tahun 1939. Hari itu seorang pembunuh yang mencabut
nyawa sejumlah orang di guillotine di Versailles. Orang-orang
pada menonton. Para juru foto bekerja: mengabadikan saat itu
kepala terlepas. Dan beberapa jam kemudian koran Paris-Soir
memasang sehalaman penuh gambar.
Tapi pemerintah dan pengadilan ternyata tak suka kepada
publisitas ini. Mereka mengeluh, bahwa pers mencoba memuaskan
"naluri sadistis dari pembaca". Maka diputuskanlah bahwa sejak
itu eksekusi tak akan dilakukan di depan umum. Ajal seorang
terhukum mati kemudian hanya disaksikan oleh sejumlah petugas.
Namun dengan demikian, seperti dikatakan Albert Camus, logika
tak berada di pihak para pembuat undang-undang. Sebab jika
maksud hukuman mati adalah untuk menakut-nakuti para calon
penjahat, kenapa proses yang semacam itu harus dihidangkan
dengan bentuk lebih necis?
Camus pun menulis Reflexions sur la peine capitale-nya dengan
cerita yang memualkan perut dari saksi-saksi mata di dekat
guillotine. Suaranya sarkastis ketika ia bilang: jika tujuan
hukuman mati ialah untuk jadi contoh dan penangkal, lebih
baiklah kita memperlihatkan si kepala yang terpotong "di depan
semua orang yang lagi bercukur di pagi hari."
Dengan kata lain kita tak harus diam, untuk menghindarkan sebuah
pornografi. Ataukah kita ingin sebuah kekejaman menjadi satu
acara resmi yang sopan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo