Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Petrus Richard Sianturi
Kandidat Magister Ilmu Hukum FH UGM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penggerebekan terhadap seorang perempuan di sebuah hotel di Kota Padang oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat beberapa waktu lalu adalah contoh paling memalukan dari kacamata penegakan hukum di sebuah negara hukum. Kesimpulan ini tidak mengada-ada karena beberapa alasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertama, kesengajaan untuk menjebak, apalagi telah dipola, termasuk untuk mengundang media dan merekamnya seolah-olah seperti sedang membuat konten video blog, telah melanggar prinsip privasi dan hak asasi manusia. Dalam hukum juga dikenal asas bahwa orang harus diperlakukan sama di muka hukum, tapi itu juga dilanggar.
Kedua, anggota DPR bukan penegak hukum, dan penggerebekan terhadap suatu locus dan tempus yang diduga terdapat kejahatan di dalamnya sepenuhnya merupakan tugas penegak hukum. Adanya transaksi di kamar hotel itu bukan tiba-tiba terjadi. Jadi, penegak hukum sudah memiliki informasi. Setelah itu, kewenangan sepenuhnya milik penegak hukum.
Ketiga, anggota DPR adalah pejabat legislatif yang terpilih dari kota tempat penggerebekan terjadi. Tidak masuk akal dan ada kepercayaan diri yang berlebihan bila dia merasa telah menjadi pahlawan moral karena telah menciduk rakyatnya sendiri sampai mempermalukannya di depan umum.
Tulisan ini tidak ingin membahas substansi pelanggaran hukum yang mungkin ada dalam kasus ini, baik yang dilakukan oleh perempuan itu maupun sang anggota DPR. Kita tahu betul bagaimana sistem hukum kita: maaf, parah sekali. Ada yang lebih penting, yaitu soal hubungan hukum, moral individu, dan moral publik.
Pertama, hukum memang dibuat untuk mengkonkretkan nilai-nilai moral. Dalam tataran diskursus filosofis, hukum dan moral adalah kaidah yang berlaku sama tinggi dalam kehidupan bersama. Hal yang selalu menjadi masalah adalah hukum sering dibuat tanpa membedakan nilai moral mana yang bisa diintervensi.
Moral individu adalah dasar utama konsep moral publik. Tapi tidak semua persoalan yang dihadapi oleh moral individu menjadi bagian dari moral publik. Misalnya, di Indonesia, sebagai negara yang mengakui eksistensi Tuhan, terbangun habitus untuk saling menghormati keyakinan umat beragama.
Jika ada penghinaan terhadap individu atau kelompok agama berdasarkan keyakinan mereka, moral publik yang berlaku adalah penghinaan itu harus segera diselesaikan. Di sini ada tuntutan moral masyarakat karena mereka tahu ada keyakinan dalam moral pribadinya yang dilanggar. Di sisi lain, tindakan penghinaan adalah bentuk pengingkaran dari moral publik, yaitu jangan sampai merendahkan keyakinan umat beragama lain.
Di Indonesia, hubungan antara hukum, moral individu, dan moral publik sering kali sengaja dikaburkan. Sebagian orang dengan bebas dan pongah merasa mampu untuk menilai kualitas moral individu lain. Bahkan sebagian orang yang pongah itu memaksakan kehendak mereka dengan menghukum orang lain atas dasar pelanggaran terhadap nilai-nilai moral mereka tanpa membedakan mana moral individu dan mana moral publik.
Anggota Dewan yang melakukan penggerebekan (lebih tepatnya penjebakan) kepada seorang perempuan di kamar hotel yang memang sudah dia rencanakan bisa jadi telah menunjukkan kepongahan itu. Kita tahu, seperti diberitakan di mana-mana, tujuannya adalah untuk "melawan kemaksiatan" di kota itu. Tujuan ini adalah contoh ukuran dari pahlawan-pahlawan moral tapi sama sekali salah kaprah.
Banyak riset telah menyimpulkan bahwa kasus atau fenomena prostitusi adalah bagian dari masalah sosial yang terjadi di segala macam bentuk, situasi, dan kondisi masyarakat di seluruh dunia. Itu dikatakan sebagai masalah sosial karena banyak hal yang mempengaruhi mengapa seseorang akhirnya memutuskan menjadi pekerja seks.
Untuk itu, membahas prostitusi dan ingin memberantasnya hanya menggunakan dalil kemaksiatan sama sekali tidak akan menyelesaikan akar masalahnya. Hal itu malah hanya akan membuat persoalan baru. Tulisan ini sama sekali tidak ingin mengatakan bahwa prostitusi diperbolehkan, tapi diperlukan pendekatan yang lengkap dan komprehensif untuk menyelesaikannya.
Pada era digital seperti sekarang, seusai penggerebekan, tuntutan untuk membawa anggota DPR itu untuk diproses secara hukum juga sangat tinggi. Ini menjadi bukti bahwa masyarakat sudah menyadari bahwa, meskipun bertujuan menegakkan kualitas moral publik, cara sewenang-wenang, apalagi menggunakan dalih hukum, sama sekali tidak bisa diterima. Untuk itu, pemeriksaan anggota DPR dan ajudannya itu juga mutlak diperlukan demi keadilan.
Hal yang lebih penting lagi adalah viktimisasi yang terjadi terhadap perempuan pekerja seks yang digerebek itu. Adalah keliru untuk mengatakan bahwa perempuan itu bukan korban. Selain oleh sistem sosial-ekonomi yang memaksanya melakukan kegiatan prostitusi, penggerebekan dan tersebarnya rekaman penggerebekan yang disengaja adalah bentuk penciptaan korban.
Kita harus lebih serius membicarakan kasus-kasus semacam ini, yang sering berakhir tanpa penyelesaian yang berarti. Sebagai warga negara, saya ikut berharap anggota DPR tersebut mau mengakui kekeliruannya dalam "melawan kemaksiatan" atau sekurang-kurangnya kesalahan dalam prosedur penegakan hukum. Adalah memalukan bila dia sekarang malah merasa menjadi korban akibat kritik warganet yang menyudutkan perilakunya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo