IA memanggil dirinya sendiri dominus. Ia menyebarkan
desas-desus bahwa dia, sang Maharaja, adalah titisan Jupiter. Ia
bahkan mengenakan mahkota yang jarang dipakai kaisar-kaisar
Romawi pita putih bertatahkan mutiara.
Anehnya Gaius Aurelius Valerius Diocletianus, penguasa Romawi
antara tahun 284-305 Masehi, adalah satu-satunya kaisar yang
dicatat sejarah sebagai pembangun "sosialisme" di imperium luas
itu.
Di tahun 301, ia keluarkan satu maklumat, Edictum de pretiis.
Keadaan sosial ekonomi dan agaknya perasaan adil baginda
menghendaki itu. Ia membagi-bagikan makanan bagi si miskin. Ia
menyelenggarakan proyek-proyek pemerintah secara meluas -- untuk
menampung tenaga kerja. Ia meletakkan industri di bawah
pengawasan negara, agar tak ada segelintir pengusaha yang
melonjak dari kebersamaan.
Negara, dalam tradisi Romawi, memang telah lama menguasai
kekayaan alam. seperti ladang garam dan pelbagai tambang. Kini
di bawah Diocletianus wewenang itu bertambah. Tukang daging,
tukang roti, tukang batu, pandai besi, peniup gelas, pemborong
semuanya ditertibkan dengan aturan pemerintah yang mendetail.
Dan mereka tak bisa berontak. Mereka kurang punya alasan moral.
Sebaliknya, Diocletianus punya dasar yang kuat. Kerajaan sedang
prihatin dan diancam musuh, sementara, begitulah keluh sang
Maharaja dalam Edictum de pretiis "kebakhilan
bersimaharajalela". Tak ayal lagi, para saudagar, dalam sistem
kekuasaan yang punya asumsi demikian, jadi anjing diburu.
Tapi sayang: Edictum itu ternyata cepat rontok. Para pedagang
dengan tangkas menyembunyikan barang mereka. Untuk melawan
permainan ini, dlkerahkan birokrasi. Tapi itulah yang harus
ditanggung sebuah pemerintahan yang hendak mengatur terlalu
banyak: aparat terpaksa bercabang-cabang, jawatan bertumpang
tindih. Sejarahwan kuno Lactantius memperkirakan jumlah
birokrasi zaman itu sampai mencapai separuh jumlah penduduk.
Mungkin sekali angka itu berlebihan. Tapi ia toh melukiskan
sebuah kesan yang kuat, tentang suatu masa, ketika biaya untuk
birokrasi setiap tahun praktis menghabiskan seluruh pendapatan
negara.
Tentu, satu catatan perlu ditambahkan. Bukan biaya itu benar
yang jadi soal, tapi kesia-siaa yang berlangsung. Will Durant,
yang menyusun riwayat peradaban Barat dalam sebelas jilid
tebal-tebal, di salah satu bagian karya besarnya itu
mengungkapkan dengan bagus kesulitan yang dihadapi birokrasi
Diocletianus: "The bureaucrats found their task too great for
human integrity, their surveillance too sporadic for the
evasive ingenuity of men."
Tugas para birokrat itu ternyata terlampau berat bagi kejujuran
manusia, dan pengawasan mereka terlampau terpecah-pecah untuk
dapat menangkap kecerdikan orang yang pintar mengelak.
Maka korupsi pun tumbuh, kelalaian berkecambah. Scmakin tercium
pembusukan, semakin bertambah lapisan birokrasi untuk mengawasi
-- dan begitulah seakan tak ada habisnya. Pada gilirannya,
Diocletianus sendiri bahkan dituduh "ada main".
Betapa menyedihkan. Sebab Diocletianus pada dasarnya bukanlah
jiwa yang rendah. Ia memang memanggil dirinya dominus, tapi
seperti dikatakan penulis tarikh kuno Aurelius Victor, "ia
berperilaku bagai bapak". Baju-baju kebesaran itu dikenakannya,
tapi ia tersenyum mafhum, bahwa di masa krisis itu, kekuasaan
memerlukan banyak tata rias. Juga desas-desus bahwa dirinya
keturunan dewa -- di masa ketika agama Kristen sudah menyebar --
bisa dilihat hanya sebuah siasat politik.
Sebab bukan kekuasaan itu yang ia cari. Ia memakzulkan diri pada
umur 55 tahun, menyerahkan kepemimpinan negara kepada yang lebih
muda. Dan ketika orang memintanya kembali ke tahta untuk
membereskan sebuah konflik, ia cuma menunjukkan tanaman kobisnya
yang subur: seorang swasta yang ingin melupakan eksperimennya
dengan "sosialisme".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini