Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pemerintah harus merevisi Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air yang diajukan Dewan Perwakilan Rakyat pekan lalu. Rancangan ini menyimpan banyak lubang dan berbahaya bagi kedaulatan air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Rancangan itu tidak boleh mengabaikan semangat bahwa air harus dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Prinsip ini seharusnya menjadi semangat utama untuk semua hal yang diatur dalam rancangan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sayangnya, rancangan tersebut kelewat membuka peluang memperjualbelikan air ketimbang memberikan jaminan pemenuhan hak rakyat atas air. Rancangan itu, misalnya, menyebutkan pengelolaan air untuk kegiatan usaha diserahkan kepada badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah. Swasta dapat masuk melalui kerja sama dengan badan tersebut. Tidak ada mekanisme untuk mengawasinya dengan ketat sehingga terbuka peluang kolusi dan korupsi. Seharusnya ada mekanisme mencegah praktik bisnis yang mengabaikan kepentingan rakyat.
Rancangan itu bahkan juga membuka keran ekspor air sangat longgar. Pasal 49 ayat 1, contohnya, hanya menyebutkan penggunaan air untuk negara lain pada hakikatnya dilarang kecuali untuk tujuan kemanusiaan. Pasal ini tanpa penjelasan sehingga bisa dibelokkan untuk kepentingan bisnis berkedok kemanusiaan. Rancangan tersebut hanya menyatakan pengaturan lebih rinci diatur dalam peraturan pemerintah. Ayat yang mudah ditafsirkan macam-macam ini semestinya diperjelas dan dipertegas. Bila tidak, ia akan mudah dipakai untuk segala macam urusan.
Salah satu persoalan besar yang pengaturannya gagal dalam rancangan ini adalah soal air tanah. Eksploitasi air tanah besar-besaran sudah mendatangkan petaka. Jakarta terancam tenggelam karena abrasi air laut. Hampir separuh penduduk DKI punya ledeng dan menggali sumur secara tidak sah. Banyak gedung komersial di kota ini juga menyedot air tanah.
Pabrik-pabrik pun seperti berpesta-pora menyedot air tanah. Di Kabupaten Sukabumi, contohnya, 110 perusahaan memanfaatkan sumber air tanah. Sebanyak 20 perusahaan di antaranya justru produsen air minum dalam kemasan.
Praktik semacam itu jelas mengancam cadangan air tanah. Tapi perlindungan terhadap air tanah kurang tecermin dalam rancangan ini. Pemerintah seharusnya mengatur hal tersebut sebelum berpikir untuk memperjualbelikan air. Apalagi dalam rancangan tersebut dinyatakan bahwa air tanah pun dapat dikelola untuk kegiatan usaha. Pasal mengenai penswastaan air tanah ini harus dihapus karena mengancam ketersediaan air bagi rakyat.
Air tanah seharusnya hanya untuk kebutuhan air minum dan air bersih masyarakat. Pengelolaannya berada di tangan pemerintah. Mari berkaca pada India. Sejak 2011, pemerintah India menggariskan bahwa air tanah hanya untuk publik dan melarang eksploitasi oleh perusahaan melalui penswastaan air. Kebijakan India ini patut dicontoh.
Kita harus bijak memakai air. Jangan sampai kita nanti bernasib sama seperti Cape Town, kota besar di Afrika Selatan. Kota itu kini terancam kehabisan cadangan air, padahal pernah memenangi sejumlah penghargaan internasional untuk manajemen air. Sumber masalah utama Cape Town adalah pertambahan penduduk, penurunan air sungai, dan kekeringan yang tidak diantisipasi dengan baik.
Kota besar seperti Jakarta perlu waspada. Jumlah penduduknya terus naik dan sejumlah situnya mengering. Permukaan tanah yang turun rata-rata 5-15 sentimeter per tahun juga sinyal bagi "mengempisnya" cadangan air tanah. Ini adalah peringatan, dan Undang-Undang Sumber Daya Air harus mengantisipasi ancaman kelangkaan air.