Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hampir setahun Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta tak memiliki wakil gubernur. Setelah Wakil Gubernur Sandiaga Uno mundur karena maju sebagai calon wakil presiden pada akhir Agustus tahun lalu, jabatan itu masih kosong. Biang keladinya adalah pertikaian di antara partai politik pengusung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) gontok-gontokan untuk mencalonkan figur pengganti Sandiaga. Mereka terkesan lebih menonjolkan kepentingan partai ketimbang pemerintah DKI. Mereka seolah-olah tidak peduli bahwa Gubernur Anies Baswedan memerlukan wakil gubernur untuk menjalankan pemerintahan secara lebih efektif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gerindra akhirnya sedikit mengalah dengan mempersilakan PKS mengusung dua calon, yakni Agung Yulianto dan Ahmad Syaikhu. Yulianto merupakan Sekretaris DPW PKS DKI. Sedangkan Syaikhu adalah bekas Wakil Wali Kota Bekasi dan calon Gubernur Jawa Barat. Hanya, konflik sebetulnya belum selesai. Gerindra masih mengancam akan mengusulkan calon jika kedua figur itu tidak didukung oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta.
Partai politik terlihat memanfaatkan kelemahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Sesuai dengan undang-undang tersebut, pengganti wakil gubernur yang berhenti atau meninggal akan dipilih oleh DPRD berdasarkan usul partai politik pengusung. Aturan tersebut jelas mengasumsikan bahwa partai-partai pengusung mampu membuat kesepakatan.
Rupanya, asumsi itu meleset. Partai politik pengusung sering kesulitan untuk mencapai kata mufakat, seperti yang terjadi pada PKS dan Gerindra. Menurut kubu PKS, kursi wakil gubernur menjadi hak partai ini karena merupakan bagian dari kesepakatan pencalonan Sandiaga sebagai calon wakil presiden dalam pemilu lalu. Tapi, menurut Gerindra, mereka tetap berhak mengusulkan calon pengganti Sandiaga.
Konflik seperti ini juga terjadi di daerah lain. Di Sulawesi Tengah, misalnya, hampir dua tahun jabatan wakil gubernur kosong setelah Sudarto meninggal pada 2016. Penyebabnya sama: partai-partai pengusung, seperti Gerindra, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Bulan Bintang, sulit kompak. Kasus serupa juga terjadi di Provinsi Riau dan Kepulauan Riau. Hampir setahun, jabatan wakil gubernur di kedua provinsi itu juga sempat kosong.
Pola pergantian wakil gubernur atau wakil bupati pernah berjalan mulus lewat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015. Undang-undang itu mengatur bahwa pengusul calon pengganti wakil gubernur adalah gubernur yang menjabat, bukan partai politik seperti sekarang. Gubernur cukup mengusulkan calon pengganti wakil gubernur kepada presiden melalui menteri.
Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah perlu mempertimbangkan aturan pergantian wakil gubernur dan wakil bupati yang lebih sederhana dan gamblang. Partai politik pun bisa mengusulkan hal itu lewat DPR. Aturan yang amat mendikte dan kurang demokratis sebetulnya tidak diperlukan andai kata partai-partai pengusung mudah berkompromi dan tidak bersikap kekanak-kanakan seperti sekarang.