Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski baru versi hitung cepat, kemenangan kotak kosong pada pemilihan Wali Kota Makassar, Sulawesi Selatan, patut diapresiasi. Dengan cara unik, pemilih di sana dengan lantang dan tegas menyatakan penolakan atas praktik oligarki dan dinasti politik yang sudah mengakar lama di Makassar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekalahan calon Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin, yang merupakan kerabat Wakil Presiden Jusuf Kalla serta didukung 10 partai politik, merupakan tamparan telak bagi mereka yang mencoba membatasi pilihan politik warga. Sebelumnya, dengan berbagai cara, pencalonan kembali Wali Kota Makassar ikumben, Danny Pomanto, berhasil digagalkan. Namanya dicoret Komisi Pemilihan Umum (KPU) dari surat suara. Padahal kepemimpinan Danny dinilai banyak kalangan berhasil mengubah wajah Kota Makassar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itu, sudah seharusnya semua partai politik belajar dari pemilihan kepala daerah di Makassar. Dukungan semua partai, ikatan kekerabatan dengan elite politik, dan sokongan dari dinasti politik, ternyata tak cukup untuk memenangi pemilihan dewasa ini. Semua tak punya arti di mata pemilih jika cara-cara yang dipakai melecehkan akal sehat dan meremehkan arti kedaulatan rakyat. Bermain api dengan cara merekayasa proses pemilihan agar hanya ada satu calon harus dibayar dengan harga mahal. Jelas partai politik di Makassar gagal menangkap aspirasi warga.
Kini rakyat sudah bersuara dan pilihan warga wajib dihormati. Semua pihak harus menahan diri dan bersama-sama mengawal proses penghitungan suara resmi di Komisi Pemilihan Umum. Jangan ada upaya untuk mencurangi pemilihan dengan mengubah hasil rekapitulasi suara. Polisi harus netral dan menindak tegas semua pelanggaran.
Laporan Badan Pengawas Pemilu soal adanya upaya sejumlah penyelenggara pemilu untuk memanipulasi hasil penghitungan suara sungguh memprihatinkan. Kecurangan semacam itu mudah sekali dideteksi karena formulir C1 yang merupakan hasil penghitungan di tingkat TPS diawasi beramai-ramai oleh warga dan saksi. Jika hasil rekapitulasi suara di tingkat kecamatan dan kota berbeda dari formulir C1, artinya jelas ada permainan.
Tindakan Komisi Pemilihan Umum Makassar melarang jurnalis meliput proses penghitungan suara juga tak ada gunanya. Pelarangan itu sendiri jelas melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan bisa dipidana. Tindakan semacam itu semakin mengundang kecurigaan: jangan-jangan ada upaya sistematis untuk mengubah hasil pemilihan Wali Kota Makassar.
Semua mata di Indonesia kini sedang menyaksikan apa yang terjadi di Makassar. Jika elite politik di sana berlagak pilon dan tetap menghalalkan segala cara untuk memenangkan jagonya, publik akan bergerak. Perolehan suara mereka pada pemilihan anggota legislatif tahun depan bisa terancam dan partai-partai pendatang baru bisa menangguk keuntungan.
Sekarang tak ada pilihan lain buat semua partai kecuali menerima hasil pemilihan dengan legawa. Tentu lima tahun ke depan, ibu kota Sulawesi Selatan itu tak akan dipimpin kotak kosong, melainkan ada pejabat sementara yang bakal ditunjuk pemerintah. Demi kesinambungan program pembangunan, bisa saja Kementerian Dalam Negeri meminta Danny Pomanto menjadi pejabat pelaksana sampai pilkada serentak berikutnya digelar pada 2020. *