Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kementerian Kelautan dan Perikanan akan menerapkan kebijakan perikanan terukur.
Kebijakan ini diperkirakan akan meningkatkan penerimaan negara Rp 12 triliun.
Banyak hal perlu dibenahi sebelum kebijakan diterapkan.
Yonvitner
Kepala Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan IPB
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menggelindingkan topik mengenai "perikanan terukur" dan "PNBP 12T". Kementerian akan menerapkan kebijakan penangkapan ikan sesuai dengan kuota mulai Januari 2022 untuk meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dengan target Rp 12 triliun. Namun, seperti tulisan saya sebelumnya tentang tata kelola perikanan presisi, banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan pemerintah sebelum menjalankan kebijakan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perikanan presisi adalah tata kelola perikanan berbasis bukti yang dilakukan dengan basis data yang dapat diandalkan. Bukti keandalan tersebut dapat dilihat dari penyimpangan yang bisa ditoleransi sebesar lima persen sehingga presisinya dapat mencakup keterukuran, keandalan, pengelolaan, dan pemantauan. Untuk itu, pembangunan lebih baik didorong lebih presisi agar dapat merajut berbagai kemanfaatan, tidak an sich soal pendapatan negara.
Sektor Basis
Rekonstruksi perikanan presisi dirancang dengan berbagai basis usaha perikanan secara akurat. Basisnya itu mencakup budi daya, tangkap, konservasi, dan pengolahan sebagai sebuah rantai industri perikanan.
Pada perikanan tangkap, data stok menjadi substansial karena menopang berjalannya industri perikanan. Dimensi data stok menjadi kunci perikanan tangkap presisi. Dengan potensi tangkap pada kondisi maximum sustainable yield (MSY) sebesar 10,03 juta ton per tahun (basis perhitungan 2016), kepantasan jumlah kapal, alat, dan tenaga kerja dapat dikalkulasi. MSY adalah penangkapan ikan melalui pencapaian tingkat produksi lestari tertinggi. Tingkat produktivitas kapal, alat tangkap, serta potensi pendapatan menjadi indikatornya.
Dengan total potensi stok tersebut, kita dapat menentukan kapasitas daya dukung industri. Ketika semua stok MSY didorong untuk kebutuhan bahan baku industri pengolahan, dengan mempertimbangkan keberlangsungan produksi, tingkat efisiensi, dan kapasitas, maka stok hanya mampu mendukung 3.100 industri.
Jumlah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) saat ini lebih dari 48 ribu unit pengolahan ikan (UPI) (berdasarkan One Data) atau lebih dari 60 ribu UPI (berdasarkan data Badan Pusat Statistik). Artinya, potensi stok tidak mencukupi untuk menopang unit pengolahan ikan secara berkelanjutan.
Presisi budi daya dimulai dari presisi alokasi area budi daya laut. Dengan mengetahui potensi kawasan budi daya yang sangat layak, layak, kurang layak, dan tidak layak untuk budi daya laut, potensi kapasitas usaha bisa ditentukan. Ini termasuk kapasitas teknologi yang perlu diadopsi dan tenaga kerja dari setiap skala budi daya yang membangun.
Selanjutnya, berdasarkan data produktivitas, potensi produksi budi daya dan industri berbasis budi daya dapat diperkirakan secara lebih presisi. Tenaga kerja yang akan diperlukan dan kebutuhan ilmu pengetahuan akan sangat terukur. Data Kementerian Kelautan pada 2020 menunjukkan, luasan area potensi budi daya yang mencapai 12,4 juta hektare adalah aset yang sangat besar bagi pengembangan perikanan budi daya secara presisi.
Dalam konteks konservasi laut, model sistem industri sains berbasis sumber daya laut menjadi platform dasarnya. Keterukuran potensi terumbu karang, keanekaragaman hayati laut, dan cakupan kawasan konservasi menjadi basis pengembangan industri sains kelautan. Daya dukung stok ikan di kawasan konservasi, baik pada zona perlindungan alami maupun kawasan rehabilitasi, menjadi indikator suplai stok untuk bisnis sains. Dengan 24 juta hektare kawasan konservasi laut, kita dapat mengembangkan potensi industri sains yang lebih presisi.
Rekonstruksi
Arsitektur perikanan presisi harus dirancang sesuai dengan tujuan Undang-Undang Perikanan. Tujuan pembangunan perikanan adalah tingkat kesejahteraan nelayan yang membaik, devisa meningkat, kesempatan kerja meluas, produktivitas terjaga, pendapatan tumbuh, kecukupan bahan baku terpenuhi, ketersediaan protein, dan kelestarian ekosistem.
Kalau diperhatikan secara seksama, untuk mencapai keberlanjutan itu tidak ada tujuan yang kemudian ditinggalkan. Pacuan mencapai PNBP tidak menjadi mutlak ketika kesejahteraan nelayan terabaikan dan kepercayaan sosial hilang. Maka, upaya merekonstruksi perikanan presisi tanpa gejolak dapat dilakukan dengan beberapa langkah, yakni penguatan modal sosial nelayan, memperkuat sistem layanan dan data, serta mengadaptasi kebijakan secara iteratif.
Penguatan modal sosial nelayan menjadi mendesak ketika rakyat tertekan akibat pandemi Covid-19 dan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. Untuk itu, kepercayaan nelayan perlu dibangun kembali dengan memperkuat dan percepat koordinasi implementasi pemangku kepentingan multiplatform. Kajian akademis yang dibangun selama ini harus menjadi basis kerja bagi Kementerian Kelautan dalam menerapkan perikanan berbasis wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Peran para pihak tidak terlihat dan bahkan pola top-down cenderung menonjol sehingga muncul resistansi terhadap kebijakan yang disodorkan.
Polemik mengenai rencana implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak di Kementerian Kelautan serta turunannya, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 86 Tahun 2021 tentang Harga Patokan Ikan untuk Penghitungan Pungutan Hasil Perikanan, harus dihentikan. Sejumlah organisasi nelayan dan dewan perwakilan rakyat daerah menilai aturan itu memberatkan dan tidak berpihak kepada nelayan. Harmonisasi dan sinkronisasi harus diambil sebagai jalan tengah agar nelayan tidak makin tertekan.
Sebelum menerapkan kebijakan untuk mengejar target PNBP Rp 12 triliun, pemerintah harus menyelesaikan persoalan layanan pelabuhan perikanan dan data. Walaupun ada pembagian kewenangan antara pusat dan provinsi, standar dan kualitas pelayan harus diperbaiki lebih dulu. Perbedaan kelas pelabuhan perikanan tidak kemudian membuat standar pelayanan berbeda. Perbaikan layanan pelabuhan akan membantu perbaikan pendataan perikanan yang berdampak pada kualitas data perikanan. Perkara data ini tidak bisa lagi ditunda dan harus diselesaikan lebih dulu sebelum berbicara soal investasi.
Setelah pendataan kuat, para pemangku kepentingan akan terlibat dan terkelola dengan baik sehingga adaptasi kebijakan bisa dilakukan secara iteratif. Mengakomodasi semua kepentingan dan tujuan agar berjalan pada koridor yang disepakati akan jauh lebih baik. Ada pepatah, kalau mau berjalan cepat, silakan sendiri; tapi kalau mau berjalan jauh, lebih baik bersama. Berjalan bersama masyarakat dan pemangku kepentingan perikanan jauh lebih baik daripada terus mengalami kondisi seperti saat ini. Mari kita kawal bersama rekonstruksi perikanan agar terwujud kesejahteraan yang kita dambakan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo