Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Solusi Mengatasi Kemiskinan Nelayan

Nelayan kecil menghadapi kemiskinan struktural. Kebijakan inklusif bisa memperbaiki kesejahteraan para nelayan.

5 Desember 2024 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sebanyak 1,1 juta orang miskin di Indonesia berasal dari keluarga nelayan.

  • Institusi bersifat ekstraktif, yang menguntungkan segelintir elite, menjadi penyebab kemiskinan struktural para nelayan.

  • Implementasi institusi inklusif untuk mereformasi kelembagaan perikanan dan kelautan.

NELAYAN kecil menghadapi problem kemiskinan struktural. Problem itu antara lain akses pemodalan untuk membuat kapal dan alat tangkap, ongkos solar, logistik melaut, serta utang menggunung kepada juragan. Laporan Institute for Development of Economics and Finance pada 2023 menyebutkan, dari 26,16 juta orang miskin di Indonesia, sebanyak 1,1 juta orang merupakan keluarga nelayan. Data yang sama mencatat bahwa 12,5 persen penduduk yang masuk kategori miskin bermukim di wilayah pesisir dan pulau kecil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengkajian peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2024, Daren Acemoglu, Simon Johnson, dan James Robinson, menjelaskan penyebab kemiskinan struktural di berbagai negara. Dalam buku mereka berjudul Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty (2012), ketiganya menjelaskan adanya institusi inklusif dan institusi ekstraktif di sebuah negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Institusi inklusif membuka kesempatan kepada semua kelompok masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi-politik. Contohnya, negara memberikan pelindungan hak milik dan kemerdekaan berbisnis sehingga rakyat bisa menikmati hasil kemajuan ekonomi.

Sebaliknya, institusi ekstraktif memusatkan kekuasaan dan kekayaan pada segelintir elite saja. Praktik ini menghambat partisipasi yang luas dari masyarakat serta menyebabkan stagnasi ekonomi dan ketidaksetaraan. Fenomena tersebut terjadi di negara yang dikuasai pemimpin otoriter dan korup sehingga kebijakan ekonominya cuma menguntungkan pengusaha serta politikus yang dekat dengan elite kekuasaan.

Merujuk pada pandangan Daren dan kawan-kawannya, kemiskinan struktural yang dihadapi nelayan kecil disebabkan oleh institusi ekstraktif. Pemerintah membuat kebijakan yang meminggirkan nelayan serta komunitas di pesisir dan menguntungkan elite pengusaha dan politikus. Contohnya kebijakan penangkapan ikan terukur, eksploitasi pasir laut, proyek Pulau Rempang, dan penambangan di pulau-pulau kecil.

Nelayan kecil merupakan korban dari model pembangunan yang dijalankan pemerintah. Negara mengeksploitasi sumber daya alam, khususnya di kawasan laut dan pesisir, sehingga nelayan kecil kehilangan mata pencarian hingga tergusur dari ruang hidupnya. Banyak kasus untuk menjelaskan fenomena tersebut, yakni reklamasi di Pantai Utara Jakarta dan Teluk Benoa serta proyek di Pulau Rempang, Kota Batam.

Selain itu, pemerintah menerbitkan kebijakan yang menutup akses nelayan kecil sehingga kehilangan sumber penghidupan. Nelayan kecil pun menghadapi negara serta korporasi yang merampas ruang laut sekaligus sumber daya yang terkandung di dalamnya melalui legitimasi institusional. Praktik semacam ini berlangsung nyaris di semua wilayah di Indonesia.

Industrialisasi di sektor kelautan dan perikanan juga menjadi salah satu penyebab kemiskinan yang dialami nelayan kecil. Paradigma industrialisasi yang berorientasi ekspor serta pertumbuhan ekonomi hanya mengakibatkan kelembagaan nelayan kecil terabaikan serta nilai (value) dalam tata kelola perikanan skala kecil tergerus. Implikasinya, makin tinggi nilai ekspor komoditas perikanan akan ikut meningkatkan deplesi stoknya. Dengan demikian, nelayan kecil akan kehilangan hak kelola dan makin miskin di tengah krisis ekologi (Longo, et al, 2015)

Fenomena perikanan rajungan di Lampung bisa menjadi contoh terjadinya tragedi komoditas. Sumber daya perikanan di sana dikuras untuk memasok permintaan pasar internasional tanpa mempertimbangkan keberlanjutan spesies dan kelestarian ekosistem. Krisis iklim turut memperburuk kemiskinan ekstrem yang dialami nelayan kecil. Perubahan suhu berdampak pada kesenjangan dan kemiskinan kronis.

Pemerintah perlu menggeser paradigma dan orientasi pembangunan kelautan yang tak semata-mata mengejar pertumbuhan yang bersifat eksploitatif dan ekstraktif. Alternatifnya ialah menerapkan blue degrowth atau doughnut marine economics, yaitu pembangunan kelautan berorientasi regeneratif (regenerative-oriented marine development). Modelnya bisa dipraktikkan pada masyarakat lokal dan nelayan kecil.

Contohnya kebijakan re-grabbing sebagai manifestasi blue degrowth akibat perampasan laut oleh korporasi perikanan berbasis kuota dan pengusung paradigma ekonomi biru. Tujuannya untuk menghindari dampak buruk terhadap perikanan skala kecil dan kemiskinan nelayan kecil disertai deplesi stok sumber daya ikan (Said dan MacMillan, 2019).

Untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan kecil, pemerintah mesti mereformasi kelembagaan kelautan dan perikanan lewat implementasi institusi inklusi. Negara wajib memberikan pelindungan hukum dan hak asasi manusia kepada nelayan; melindungi hak kelola, hak hidup, dan akses; memberikan kemudahan berusaha dan berinovasi; menikmati kemajuan ekonomi tanpa diskriminasi; mendeprivatisasi kebijakan kelautan untuk mengurangi eksploitasi sumber daya dan ekosistem perikanan; serta mencabut kebijakan kontroversial, seperti ekspor pasir laut.

Undang-Undang Dasar 1945 juga perlu diamendemen untuk memasukkan hak alamiah sumber daya alam dan hak hidup sehingga keberlanjutan sumber daya serta metabolisme alam dan sosial terus terjamin. Dengan demikian, korporasi yang merusak sumber daya kelautan dan perikanan bisa diberi sanksi berat dan diminta memulihkan ekosistem yang rusak.

Pemerintahan Prabowo Subianto mesti menjadikan problem kemiskinan struktural nelayan kecil sebagai masalah urgen untuk dibereskan. Dengan demikian, kehidupan sosial-ekonomi para nelayan kecil terjamin.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Muhamad Karim

Muhamad Karim

Dosen Universitas Trilogi Jakarta dan peneliti Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus