Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Kota bagi Pejalan Kaki

Bagaimana membangun kota yang berorientasi pada pejalan kaki?

30 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kota-kota kita masih dibangun dengan berorientasi pada kendaraan bermotor.

  • Pejalan kaki ditempatkan pada posisi terbawah dalam struktur tata kota.

  • Pembangunan jalan besar, jalan tol, dan jalan layang menjadi karpet merah bagi kendaraan bermotor.

Nirwono Joga
Pusat Studi Perkotaan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) menimbulkan berbagai kekhawatiran di masyarakat karena ada kemungkinan terjadi inflasi serta kenaikan harga barang dan jasa. Drama kenaikan harga BBM akan terus terjadi selama kota belum menyediakan sistem transportasi publik yang memadai untuk mobilitas masyarakat dan masyarakat masih mengandalkan kendaraan pribadi dalam kegiatan sehari-hari. Membangun sistem transportasi publik yang andal saja tentu tidak cukup. Kota harus dibangun kembali berbasis pejalan kaki karena pengguna transportasi publik sudah pasti berjalan kaki.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masalahnya, seberapa banyak dari kita yang berjalan kaki dalam aktivitas sehari-hari? Seberapa sering kita berjalan kaki menyusuri kota? Seberapa peduli kita terhadap kondisi infrastruktur jalur pejalan kaki, seperti trotoar dan jembatan penyeberangan? Lalu, langkah apa yang harus dilakukan?

Nasib pejalan kaki dalam struktur transportasi kota sejatinya berada pada puncak piramida. Dalam struktur tata kota yang beradab, pejalan kaki sangat dimuliakan. Kota adalah puncak peradaban manusia. Trotoar adalah roh kota. Karena itu, keberadaan trotoar yang aman dan nyaman merepresentasikan peradaban kota itu sendiri. Hanya dengan berjalan kaki, kita dapat merasakan langsung kondisi kota sebenarnya.

Sayangnya, kota kita masih dibangun dengan berorientasi pada kendaraan bermotor atau kota motoris, yang menempatkan pejalan kaki pada posisi terbawah dalam struktur tata kota. Pembangunan jalan-jalan besar, jalan tol, jalan layang, dan jalan layang tol menjadi karpet merah bagi kendaraan bermotor. Masih beruntung jika kemudian jalan-jalan itu "menyisakan" jalur khusus untuk transportasi publik, seperti bus, dan jalur sepeda.

Kalau kita pergi ke negara yang kotanya tertata, jalan kaki ke mana-mana akan nyaman. Ada jalur pedestrian yang lebar dan teduh. Transportasi publik dapat diakses dengan mudah dan murah di sepanjang kawasan perumahan dan perkantoran. Pengalaman ini bisa dijadikan modal untuk mendorong masyarakat menuntut jalur pejalan kaki yang aman dan nyaman. Keselamatan pejalan kaki harus menjadi prioritas semua pihak.

Penyediaan serta pembangunan trotoar dan infrastruktur pendukung, seperti tempat penyeberangan orang dan jembatan/terowongan penyeberangan orang, menjadi keharusan. Hal ini didukung oleh rencana induk jalur pejalan kaki, target panjang trotoar yang dibangun per tahun, keberpihakan politik anggaran, hingga program jaminan keselamatan pejalan kaki.

Hasil survei Koalisi Pejalan Kaki (2021) menunjukkan kondisi trotoar di 34 kota dan 26 kabupaten. Dalam skala 1-10, rata-rata nilai trotoar Indonesia adalah 4,9. Untuk trotoar di kota rata-rata 4,95. Sedangkan kabupaten 4,07. Rapor ini setidaknya bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi para pemangku kepentingan dalam memperhatikan fasilitas pejalan kaki.

Pembangunan kota berbasis pejalan kaki merupakan amanah Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dia juga didukung oleh Peraturan Menteri Pembangunan Umum Nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan serta Peraturan Menteri Pembangunan Umum Nomor 03/PRT/M/2014 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan.

Pemerintah daerah dapat menyusun rencana induk jalur pejalan kaki yang terpadu dengan rencana penataan sarana jaringan utilitas secara terpadu (SJUT) dan rencana rehabilitasi saluran air atau drainase kota. Pembangunan baru atau revitalisasi trotoar harus diiringi penataan ulang SJUT dengan memindahkan SJUT dari atas ke bawah trotoar serta merehabilitasi jaringan saluran air secara menyeluruh. Hal ini akan meniadakan kegiatan bongkar-pasang trotoar yang terjadi sepanjang tahun dan kerap membahayakan pejalan kaki.

Infrastruktur jalur pejalan kaki harus menghubungkan kawasan permukiman dan terminal/stasiun/halte yang dilanjutkan ke tempat tujuan aktivitas harian masyarakat, seperti sekolah, kantor, pasar, dan taman, dalam radius jangkauan 10 menit (10 minutes city). Begitu pula dalam memenuhi kebutuhan harian, seluruh fasilitas umum dan sosial haruslah dapat dijangkau warga kota dalam tempo 10 menit berjalan kaki.

Program regenerasi kota berbasis pejalan kaki ini tengah dikembangkan di beberapa kota di dunia, seperti Paris, Prancis; London, Inggris; Amsterdam, Belanda; Stockholm, Swedia; Kopenhagen, Denmark; dan Melbourne, Australia. Ini sebagai upaya pemulihan kota pasca-pandemi Covid-19. Mereka yakin bahwa berjalan kaki itu sehat (kesehatan tubuh), sebagai ajang interaksi masyarakat dan mengenal dekat kota (kesehatan sosial), serta mengurangi kemacetan lalu lintas dan polusi udara (kesehatan lingkungan). Sudah saatnya kota-kota di Indonesia juga mengembangkan kotanya ke arah tersebut.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus