Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Kenaikan Iuran dan Misi Jaminan Kesehatan Semesta

Pemerintah berencana menaikkan lagi iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk menanggulangi permasalahan defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

3 September 2019 | 07.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Deni Wahyudi Kurniawan
Anggota Majelis Pelayanan Kesehatan Umum PP Muhammadiyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah berencana menaikkan lagi iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk menanggulangi permasalahan defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Rencananya, premi dinaikkan dua kali lipat dari tarif saat ini. Meskipun ada banyak dukungan untuk menyelamatkan BPJS Kesehatan, banyak yang menolak opsi kenaikan ini karena dianggap akan memberatkan peserta. Lalu apakah kebijakan ini akan menyelesaikan masalah defisit BPJS Kesehatan? Bagaimana efeknya terhadap target pencapaian jaminan kesehatan semesta pada 2020?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BPJS Kesehatan mulai berlaku pada 2014 dengan target misi mencapai jaminan kesehatan semesta (universal health coverage) pada 2020. Hingga awal 2018, BPJS kesehatan sudah mencakup 80,1 persen populasi dan ditargetkan mencakup 100 persen pada 2019. Namun, sejak awal, BPJS kesehatan mengalami defisit anggaran yang terus meningkat, dari Rp 3,3 triliun pada 2014 menjadi Rp 9 triliun pada 2017, dan kini diprediksi menjadi Rp 32,8 triliun pada 2019. Penelitian Teguh Dartanto (2017) memprediksi defisit terus meningkat hingga Rp 53,7 triliun pada 2030.

Sumber utama defisit BPJS adalah premi yang ditetapkan di bawah perhitungan aktuaria. Sejak awal, pemerintah menetapkan besaran premi lebih rendah daripada usulan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Misalnya, pada 2015, rata-rata kontribusi peserta BPJS Kesehatan adalah Rp 27 ribu per orang per bulan, sementara rata-rata klaim adalah Rp 33 ribu. Meski besaran tarif sudah dinaikkan pada 2016, defisit tetap meningkat.

Permasalahan struktural ini diperparah dengan besarnya tunggakan iuran. Pada 2018, BPJS Kesehatan mencatat tunggakan iuran sebesar Rp 2,1 triliun, sementara pada 2017 BPJS Watch mencatat tunggakan pemerintah daerah Rp 649 miliar, Jaminan Kesehatan Daerah Rp 307 miliar, dan utang perusahaan swasta Rp 534 miliar.

Untuk mengurangi defisit, pemerintah mengucurkan dana dalam bentuk penyertaan modal. Selama 2015-2018, pemerintah mengucurkan subsidi lebih dari Rp 25,6 triliun untuk BPJS Kesehatan. Namun pemerintah tidak bisa terus menyuntikkan dana karena kemampuan fiskal pemerintah terbatas. Apalagi, secara historis, pendanaan kesehatan di Indonesia termasuk rendah, berkisar 2-3 persen dari total produk domestik bruto (PDB). Angka ini berada di bawah rata-rata anggaran kesehatan negara-negara berkembang yang berkisar 5,3 persen dari PDB. Jelas, pembiayaan BPJS Kesehatan tidak bisa bergantung pada APBN.

Menaikkan iuran adalah solusi untuk jangka panjang. Meskipun begitu, pilihan ini akan mengurangi minat dan kemampuan masyarakat dalam membayar premi. Kelompok yang paling terkena dampak adalah peserta pekerja mandiri yang mayoritas masyarakat miskin dan tidak menerima bantuan iuran dari pemerintah (PBI). Hingga saat ini, diperkirakan masih ada 30 persen masyarakat yang belum menjadi peserta BPJS.

Bahkan, dengan kenaikan iuran sekalipun, beban utama pembiayaan tetap akan bertumpu kepada pemerintah, dengan 60 persen atau 133 juta peserta BPJS Kesehatan adalah penerima bantuan iuran (PBI). Itu pun tidak cukup karena menurut perhitungan pemerintah, kenaikan iuran hanya akan menambal kerugian Rp 14 triliun, jauh dari defisit saat ini.

Pemerintah sebetulnya punya opsi lain, misalnya menambah penghasilan dengan menggenjot sumber dana lain, seperti cukai barang berbahaya. Saat ini, cukai baru dikenakan pada tembakau, alkohol, dan etil alkohol yang pada 2018 menghasilkan Rp 194 triliun. Jika pemerintah berani lebih agresif menaikkan tarif cukai dari berbagai produk berbahaya tersebut, banyak pendapatan yang bisa digunakan untuk membiayai kesehatan.

Sebagai contoh, pendapatan cukai hasil tembakau saat ini baru sekitar Rp 153 triliun, jauh di bawah potensinya yang bisa dua sampai tiga kali lipat. Dari jumlah itu saja ada Rp 21 triliun dana cukai yang bisa dialokasikan untuk membantu sektor kesehatan. Pendapatan ini akan lebih besar jika pemerintah berani melakukan ekstensifikasi komoditas berbahaya lain yang belum diatur, seperti plastik dan makanan cepat saji.

Kebijakan seperti ini telah dilaksanakan di banyak negara, seperti Thailand dan Filipina. Pemerintah bisa menggunakan cukai rokok dan alkohol untuk membiayai anggaran kesehatan, termasuk jaminan sosialnya. Opsi ini strategis karena menaikkan cukai berarti mengendalikan konsumsi barang berbahaya yang memicu banyak penyakit yang memberatkan BPJS Kesehatan selama ini.

Sumber dana lain yang bisa dimaksimalkan adalah kontribusi dari pemerintah daerah. Hingga awal 2018, baru 489 dari 514 kota/kabupaten yang sudah mengintegrasikan anggarannya untuk BPJS Kesehatan. Itu pun baru 3 provinsi, 64 kabupaten, dan 24 kota yang berkomitmen meliputi 100 persen penduduknya. Dengan memaksimalkan dana kesehatan daerah, banyak dana yang bisa disalurkan untuk membantu program BPJS Kesehatan secara nasional.

Kenaikan iuran bisa menjadi solusi efektif dalam jangka panjang, tapi pemerintah perlu mengkombinasikannya dengan kebijakan lain, sehingga kenaikan premi tidak terlalu membebani rakyat dan jaminan kesehatan semesta bisa tercapai secepatnya.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus