Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Mudarat Kenaikan PPN

Rencana kenaikan PPN 12 persen pada 1 Januari 2025 akan membebani masyarakat miskin dan perekonomian. 

15 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kenaikan PPN menunjukkan bahwa pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat kehabisan akal untuk meningkatkan rasio perpajakan.

  • PPN berlaku tanpa pandang bulu dan menyasar semua lapisan masyarakat.

  • Indonesia akan menjadi negara dengan tarif PPN tertinggi di Asia Tenggara—bersama Filipina yang juga mengenakan tarif pajak 12 persen.

INILAH “hadiah” langsung bagi rakyat Indonesia jika kelak Prabowo Subianto memimpin pemerintahan: kenaikan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN. Program perpajakan Presiden Joko Widodo akan dilanjutkan oleh Prabowo dengan kembali mengerek tarif PPN dari 11 menjadi 12 persen per Januari 2025 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini



Kenaikan PPN menunjukkan bahwa pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat kehabisan akal untuk meningkatkan rasio perpajakan terhadap produk domestik bruto (PDB). Pada 2023, tax ratio Indonesia adalah 10,21 persen—turun sedikit dari 10,39 persen pada 2022. Angka ini jauh di bawah rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF) yang menyatakan syarat minimal tax ratio 15 persen agar pembangunan bisa berkesinambungan.

Rasio perpajakan itu bisa diperbaiki dengan mengobati banyak penyakit perpajakan di Indonesia. Dari pengawasan dan penegakan hukum hingga pemberantasan korupsi. Namun, bukannya memperbaiki manajemen pajak, pemerintah memilih kembali menaikkan PPN, setelah naik dari 10 menjadi 11 persen per 1 April 2022.

Kenaikan PPN merupakan bentuk ketidakadilan sosial. Sebagai pajak tak langsung—berbeda dengan pajak langsung, seperti pajak penghasilan—PPN berlaku tanpa pandang bulu dan menyasar semua lapisan masyarakat. Semua yang membeli barang atau menggunakan jasa langsung dikenai pungutan. Tukang ojek yang membeli sebotol air minum kemasan di minimarket membayar persentase pajak yang sama dengan konglomerat yang mengkonsumsi minuman serupa di hotel bintang lima. Praktik ini tak mengusung prinsip keadilan pajak.

Kenaikan PPN membuat porsi pendapatan orang miskin yang tersedot pajak makin besar dan membuat Indonesia kian sulit keluar dari perangkap pendapatan menengah.

Namun konsumen sering tidak merasakan kenaikan pajak ini. Sebab, pajak yang kita bayar terserap atau price-in dalam harga barang dan jasa. Kenaikan PPN dua tahun lalu direspons pengusaha dengan menaikkan harga barang dan jasa. Kenaikan harga tersebut kian menyulitkan masyarakat kelas menengah ke bawah di tengah perekonomian yang belum sepenuhnya pulih dari pandemi Covid-19.

Kondisi ini membuat konsumsi masyarakat melambat. Apalagi, beberapa tahun terakhir, terjadi banyak kenaikan harga, dari BBM; gas LPG 12 kilogram; minyak goreng; hingga yang terbaru, beras. Padahal konsumsi rumah tangga merupakan penyokong terbesar produk domestik bruto nasional—hingga 53 persen pada 2023. Ujung-ujungnya, inflasi meningkat dan pertumbuhan ekonomi menjadi loyo.

Baca Juga:

Tidak ada kebutuhan mendesak untuk menaikkan PPN. Alasan pemerintah bahwa PPN Indonesia di bawah negara-negara Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) keliru karena 22 dari 38 negara OECD merupakan anggota Uni Eropa, yang menerapkan batas minimal PPN 15 persen. Adapun rata-rata tarif PPN—dipakai 175 negara—secara global adalah 10 persen.

Dengan kenaikan PPN per 1 Januari 2025, Indonesia akan menjadi negara dengan tarif PPN tertinggi di Asia Tenggara—bersama Filipina yang juga mengenakan tarif 12 persen. Sementara itu, negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand, hanya mengenakan tarif pajak 7 persen.

Pemerintah yang baru kelak sebenarnya punya kesempatan untuk mengoreksi warisan buruk Presiden Jokowi ini. Ada banyak cara untuk menyehatkan rasio pajak terhadap PDB tanpa harus mengorbankan penduduk miskin, yang proporsinya mencapai sekitar 10 persen penduduk Indonesia. Misalnya, mengevaluasi insentif PPN sektor jasa keuangan, kelautan, dan perikanan yang selama ini tak dipungut. Bisa juga belajar dari kesuksesan Norwegia yang menerapkan pajak kekayaan atau wealth tax pada 1 persen populasi orang kaya mereka.

Namun hal terpenting dalam upaya memperbesar rasio pajak terhadap PDB adalah memperbaiki manajemen perpajakan. Sebab, sebesar apa pun tarif yang dikenakan, akan sia-sia jika pengelolaannya inefisien dan berlumur korupsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus