Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Mundurlah Penonton Sepak Bola Indonesia

Bila Ketua PSSI Mochamad Iriawan tak mau mundur, kitalah yang harus mundur dari lapangan. Jangan menonton sepak bola lagi sampai reformasi PSSI terwujud.

11 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETUA Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Mochamad Iriawan perlu belajar kepada Itaru Nakamura. Ia Kepala Kepolisian Nasional Jepang, kalau Iwan belum tahu. Nakamura mundur dari jabatan karena anak buahnya gagal melindungi mantan perdana menteri Shinzo Abe dari tembakan Tetsuya Yamanagi pada 8 Juli 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nakamura tak mencari-cari dalih untuk berkelit dari fakta bahwa Abe terbunuh akibat lemahnya pengamanan terhadapnya saat berkampanye di Kota Nara. Nakamura juga tidak menyuruh publik Jepang membaca detail aturan pejabat publik mundur untuk ngeles dari tanggung jawab. Nakamura seorang jenderal polisi, seperti Iwan, yang langsung mengakui kesalahan tak bisa menciptakan sistem pengamanan bagi warga Jepang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sementara Iwan terus bersilat lidah untuk mempertahankan jabatannya setelah 131 penonton sepak bola tewas di Stadion Kanjuruhan, 1 Oktober 2022. Tak ada yang mengaku bersalah, tidak ada yang secara kesatria bertanggung jawab. Padahal itu jelas pembantaian massal oleh polisi berdalih pengamanan. Iwan malah menimpakan seluruh kesalahan pada panitia pelaksana laga Arema FC-Persebaya itu.

Sepak bola profesional adalah sebuah sistem, sama seperti pengamanan di Jepang. Kelemahan melindungi Abe akibat kepala kepolisian gagal menciptakan sistem itu. Kematian penonton laga Arema FC-Persebaya adalah kegagalan sistem yang dibuat PSSI, induk organisasi cabang olahraga ini. Sebab, di sana ada jadwal pertandingan, ada hak siar, ada iklan, ada uang tiket, ada pengamanan. Semuanya ada dalam kendali PSSI, seperti temuan Tim Gabungan Pencari Fakta.

Panitia pelaksana pertandingan itu jelas salah karena mengabaikan permintaan polisi menggelar pertandingan lebih sore hanya karena takut kehilangan pendapatan hak siar. Alih-alih mementingkan keselamatan, panitia malah menambah jumlah penonton hingga melebihi batas aman dari perhitungan polisi. Petugas keamanan juga tidak memastikan pintu-pintu stadion dalam keadaan baik.

Polisi dan tentara yang brutal lebih keliru lagi. Menembakkan gas air mata ke tribun yang disesaki 40 ribu orang jelas membuat panik sehingga sebagian dari mereka terinjak di pintu yang sempit dan terkunci. Toh, fakta telanjang itu disampaikan polisi dengan mengatakan bahwa penonton tewas karena kehabisan oksigen. Ya ampun, Rudolfo, mengapa senang sekali berkelit memutar-mutarkan fakta?

Yang lebih memalukan lagi adalah respons para pejabat Indonesia ihwal keputusan Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) atas tragedi Kanjuruhan itu. Presiden Joko Widodo langsung berpidato dengan menyatakan syukur Indonesia tak terkena sanksi. Bagi Jokowi, Iwan, dan para pejabat Indonesia, nyawa manusia tak lebih penting dari prestise.

Harapan bahwa tragedi Kanjuruhan bakal membuat politikus kita insaf untuk memperbaiki sepak bola agaknya jauh panggang dari api. Dalam duka kematian massal saja, para politikus dan pejabat kita masih memikirkan lolos dari sanksi FIFA. Semestinya Jokowi mengajukan protes kepada FIFA dan meminta sanksi yang keras. Jika dia tak berani menghukum anak buahnya karena pertimbangan citra dan politik, memakai tangan FIFA seharusnya menjadi cara bagus ia menghukum mereka yang lalai melindungi keselamatan penonton sepak bola, dengan tangan tetap bersih.

Maka, kini kitalah yang harus menghukum para politikus itu. Jika mereka tak mau mundur sebagai bentuk tanggung jawab, kitalah yang harus mundur dari lapangan. Jangan menonton sepak bola lagi sampai reformasi PSSI dan turunannya terwujud.

Tanpa penonton, bisnis sepak bola tak akan ada. Tanpa penonton, sepak bola menjadi tak berarti. Mungkin hanya dengan cara itulah politikus dan pengurus sepak bola seperti Mochamad Iriawan akan sadar.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus