Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kurnia Ramadhana
Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo resmi menandatangani Keputusan Presiden Nomor 54/P Tahun 2019 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Masa Jabatan Tahun 2019-2023 pada pertengahan Mei lalu. Lembar baru pemberantasan korupsi akan segera dimulai, yakni mencari figur-figur terbaik bangsa untuk melanjutkan tonggak estafet kepemimpinan KPK empat tahun ke depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah menjadi rahasia umum bahwa menjadi seorang pemimpin lembaga antikorupsi bukan perkara mudah. Berbagai ancaman seakan-akan sudah menjadi santapan dalam keseharian, dari kriminalisasi tanpa dasar hukum yang jelas hingga upaya kekerasan. Sebut saja penetapan tersangka Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Chandra M. Hamzah, dan Bibit Samad. Ditambah ancaman bom yang diterima oleh Agus Rahardjo dan Laode M. Syarif pada awal tahun ini.
Pimpinan KPK pun harus bersiap menghadapi berbagai upaya pihak-pihak yang ingin melemahkan lembaga antirasuah ini. Sebut saja ancaman revisi Undang-Undang KPK dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang materinya seakan-akan ingin menghapus kewenangan yang selama ini dimiliki oleh KPK.
KPK adalah lembaga penegak hukum yang bersifat dinamis. Tak jarang konflik di internal menyeruak di tengah publik. Misalnya, pada pertengahan April lalu, mayoritas pegawai mengeluhkan kinerja petinggi kedeputian penindakan yang dituangkan dalam sebuah petisi untuk pimpinan KPK. Isu yang saat itu berkembang adalah adanya kemandekan penanganan perkara, kebocoran informasi, perlakuan khusus kepada saksi, dan pembiaran dugaan pelanggaran berat. Maka, pimpinan KPK nanti harus mempunyai kemampuan manajerial dan pengelolaan sumber daya manusia yang baik.
Ada satu isu yang rasanya selalu mengemuka dan patut menjadi perhatian tiap kali pergantian pimpinan KPK berlangsung. Banyak pendapat menyatakan komisioner KPK mesti berasal dari institusi penegak hukum tertentu. Saya ingin menjelaskan beberapa bantahan terhadap asumsi yang tak berdasar tersebut.
Pertama, figur-figur terbaik Kepolisian RI dan kejaksaan sebaiknya diberdayakan di institusinya masing-masing. Hal ini mengingat potret buram penegak hukum yang masih belum banyak berubah. Lembaga Survei Indonesia pada akhir tahun lalu merilis data bahwa lembaga yang paling berpotensi melakukan pungutan liar dalam pelayanan birokrasi adalah kepolisian. Adapun kejaksaan berada di urutan bawah dalam hal tingkat kepercayaan publik. Jadi, seharusnya Kepala Kepolisian RI dan Jaksa Agung menjadikan hal ini sebagai prioritas, bukan justru berbondong-bondong mengirimkan wakil terbaiknya untuk menjadi pimpinan KPK.
Kedua, setiap orang dengan latar belakang apa pun dengan sendirinya akan berstatus sebagai penyidik dan penuntut ketika terpilih menjadi pimpinan KPK. Undang-Undang KPK telah menyebutkan secara jelas hal tersebut. Wajar jika unsur penegak hukum tidak terlalu dibutuhkan untuk menjadi pimpinan KPK.
Ketiga, rekam jejak yang tidak terlalu baik dan rawan konflik kepentingan. Kesimpulan ini didasari sejumlah oknum kepolisian yang beberapa kali terbukti melanggar kode etik ketika bertugas di KPK. Misalnya, Aris Budiman, yang secara terang-terangan mendatangi panitia angket tanpa izin dari pimpinan KPK. Roland dan Harun diduga merusak barang bukti salah satu perkara. Firli diduga bertemu dengan Tuan Guru Bajang, yang kasusnya justru sedang dalam pengusutan lebih lanjut oleh KPK.
Persoalan konflik kepentingan sebenarnya dapat dipahami dengan mudah oleh masyarakat. Jika penegak hukum tersebut kelak menjadi pimpinan KPK, bagaimana mereka akan bisa menepis isu loyalitas ganda? Selain itu, apakah mungkin mereka akan menerapkan standar yang sama ketika pelaku korupsinya justru berasal dari lembaganya terdahulu? Harus diingat, Undang-Undang KPK secara gamblang menyebutkan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.
Wajarlah masyarakat merasa waswas jika kelak pimpinan KPK yang terpilih justru bukan figur-figur terbaik. Pasalnya, saat ini lembaga antirasuah itu sedang menangani perkara dengan skala politik dan kerugian negara yang besar, seperti korupsi KTP elektronik yang diduga melibatkan banyak aktor politik. Hal ini terkonfirmasi saat jaksa KPK membacakan dakwaan terhadap Irman dan Sugiharto, yakni aliran dana korupsi tersebut diduga mengalir ke puluhan politikus. Perkara lain adalah korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, yang merugikan negara sebesar Rp 4,58 triliun.
Mungkin ada pihak yang akan menganggap tulisan ini terlalu berprasangka buruk dan pesimistis. Namun, yakinlah, mempercayakan orang-orang yang tak memiliki integritas untuk memimpin KPK sama saja dengan menjauhkan mimpi Indonesia terbebas dari korupsi.