Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEREDARNYA surat palsu penetapan Direktur Jenderal Imigrasi menunjukkan ada yang gawat di jantung pemerintahan Joko Widodo. Keputusan presiden adalah layang yang menandai kebijakan Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Pemalsuan keppres merupakan kejahatan serius. Keadaan bertambah gawat jika ada orang dalam yang terlibat dalam aksi lancung tersebut.
Surat keputusan abal-abal itu bernomor 766P/XII/2014. Isinya: pengangkatan Bambang Widodo sebagai Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bambang adalah satu dari tiga kandidat Direktur Jenderal Imigrasi hasil seleksi panitia yang dibentuk Amir Syamsuddin, Menteri Hukum pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Ia calon di peringkat ketiga. Bersama dua kandidat di atasnya, September tahun lalu, namanya dikirim kepada Tim Penilai Akhir, lembaga yang dipimpin presiden dan bertugas menetapkan pejabat eselon I.
Tak ingin mengambil keputusan di hari-hari terakhir pemerintahan, Yudhoyono tak menggelar rapat Tim Penilai Akhir. Presiden Jokowi belum pula meneken surat penetapan. Jabatan yang kosong hingga kini diisi pejabat sementara.
Surat bodong beredar di kalangan wartawan dan politikus Dewan Perwakilan Rakyat. Berbekal surat itu, sejumlah legislator mendesak pemerintah segera melantik Bambang sebagai direktur jenderal. Sekretaris Kabinet era Yudhoyono dan Jokowi kompak menyangkal pernah mengeluarkan surat bermasalah itu. Hingga kini, tak pernah jelas siapa yang bertanggung jawab atas keluarnya surat tersebut.
Presiden Jokowi mesti bertindak cergas. Ia tidak boleh mendiamkan kejahatan ini. Polisi harus mengusut pelakunya. Pejabat yang terlibat dan mengambil untung mesti ditindak. Otak dan jaringan pembuat surat itu juga harus dijerat dengan pasal pidana pemalsuan dokumen. Penyelidikan paling awal mesti dilakukan di kantor Sekretariat Kabinet dan Kementerian Hukum, tempat surat itu pertama kali beredar.
Motif pembuatan surat lancung itu harus diungkap. Ada kemungkinan surat tersebut dibuat untuk mendesak pemerintah agar melantik pejabat yang disebut dalam keppres itu. Kemungkinan lain: upaya mendiskreditkan sang pejabat. Tidak tertutup kemungkinan, surat itu dibuat untuk menunjukkan kekacauan administrasi pemerintah. Jangan pernah menutup kemungkinan pelaku kejahatan datang dari dalam pemerintah sendiri.
Sekretariat Kabinet harus dibenahi. Keteledoran lembaga itu dalam mengurus administrasi pemerintah tak boleh terjadi lagi. Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2015 tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka bagi Pejabat Negara untuk Pembelian Kendaraan Perorangan tak boleh terulang. Peraturan yang hanya berumur 17 hari itu membuktikan adanya dua lapis kesalahan administrasi: Presiden tak hati-hati karena meneken surat yang tak saksama ia baca, sementara para pembantunya juga teledor atau sengaja meneledorkan diri.
Sekretariat Kabinet dan Sekretariat Negara memang masih diisi birokrasi lama yang tak mudah diubah. Tapi ini adalah tantangan bagi Menteri Sekretaris Negara dan Sekretaris Kabinet. Keduanya tidak boleh ragu main gebrak. Berhentikan saja pejabat yang tak mau berubah. Jika kesalahan terjadi di level menteri, Presiden yang perlu tegas: secepatnya coret dari kabinet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo