Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Kepunahan Massal Keenam

Tak ada lagi ikan patin air payau. Sebelum Lebaran, saya pergi ke pasar ikan di kampung saya di selatan Kalimantan untuk menyantap menu ikan yang rasanya sedap dan banyak lemak itu.

14 Juni 2019 | 07.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fachruddin M. Mangunjaya
Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Nasional

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak ada lagi ikan patin air payau. Sebelum Lebaran, saya pergi ke pasar ikan di kampung saya di selatan Kalimantan untuk menyantap menu ikan yang rasanya sedap dan banyak lemak itu. Harapan saya pupus karena si pedagang mengatakan ikan bernama ilmiah Pangasius pangasius itu sudah langka dan menghilang dalam beberapa tahun terakhir. Masyarakat juga sadar, ikan itu menghilang karena pencemaran, termasuk dari limbah kelapa sawit dan tambang emas yang pernah mencemari sungai. Namun masih ada ikan patin yang telah mengalami domestikasi dalam keramba, tapi rasanya sangat berbeda dengan patin dari alam bebas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ilustrasi itu mungkin dapat melukiskan apa yang baru saja diumumkan oleh Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES). Panel ahli PBB yang terdiri atas 145 ilmuwan dari 50 negara ini menelaah 15 ribu laporan ilmiah dan melaporkan kondisi alam asli global bumi dalam setengah abad terakhir. Mereka menyimpulkan bahwa kepunahan yang terjadi pada makhluk di bumi melaju lebih cepat dibanding kepunahan pada masa sebelumnya. Kepunahan tersebut terjadi di antaranya akibat perubahan lahan yang cepat, eksploitasi berlebihan, dan pencemaran lingkungan.

Laporan itu memberikan peringatan penting betapa manusia sangat bergantung pada alam asli dalam hal makanan, air bersih, atau yang diperlukan makhluk lain, seperti tumbuhan, yang menyerap emisi karbon dioksida, penyebab perubahan iklim.

Dalam 50 tahun terakhir, manusia telah melakukan perubahan secara masif, yang mengakibatkan alam asli berubah drastis. Fenomena ini tidak hanya dapat dibuktikan secara ilmiah, tapi masyarakat awam pun dapat menceritakannya. Seorang ibu, yang hijrah dari Jawa ke Ketapang, Kalimantan Barat, sekitar 10 tahun yang lalu, menceritakan betapa mudahnya dulu mencari ikan dan udang di sungai-sungai. Bahkan ada cukup banyak ikan di belakang rumahnya yang berada di pinggiran rawa gambut. Kini kawasan itu telah kering. Ikan dan udang pun menghilang. Inilah fenomena kepunahan itu. Apa yang terjadi sekarang 80 hingga 100 kali lebih cepat dibanding masa sebelumnya.

IPBES mengkalkulasi sekitar satu juta spesies tumbuhan dan binatang sekarang terancam punah dalam 10 tahun terakhir. Keterancaman ini dinyatakan sebagai kasus yang pertama kalinya terjadi dalam sejarah umat manusia.

Planet bumi kita pernah mengalami kepunahan massal, tapi masa itu adalah masa sebelum hadirnya manusia. Pertama kali kepunahan terjadi pada zaman Ordovician, 444 juta tahun silam, ketika 86 persen kehidupan punah, Kepunahan kedua terjadi pada zaman Devonian, 375 tahun yang silam, yang menyebabkan 75 persen spesies musnah.

Kepunahan ketiga dijumpai pada akhir zaman Permian, 251 juta tahun yang lalu, saat 96 persen spesies punah. Kepunahan keempat terjadi pada akhir zaman Triasik, 200 juta tahun yang lalu, saat 80 persen spesies punah. Pada zaman Kretaseus terjadi kepunahan massal kelima, pada 66 juta tahun lalu, saat 76 persen spesies musnah. Kepunahan keenam sedang terjadi pada zaman sekarang, yakni era Anthropocene atau era hadirnya manusia.

Sekarang, rata-rata kelimpahan spesies asli di habitat darat turun 20 persen sejak abad ke-19. Kepunahan massal sedang dalam proses yang ditandai dengan terancam punahnya 40 persen spesies amfibi serta degradasi atas 33 persen hewan terumbu karang yang membentuk rumpun. Pendeknya, sepertiga spesies terancam punah.

Kepunahan hewan vertebrata dapat menjadi indikator bencana bagi keseimbangan ekosistem alam. Misalnya, burung, monyet, dan kelelawar merupakan kunci untuk penyebaran biji-biji tumbuhan di hutan tropis. Pohon yang mereka tanam menjadi regulator iklim, menyerap CO2, dan menghasilkan oksigen untuk manusia bernapas. Jadi, berkat merekalah hutan tumbuh serta air bersih dan siklus hidrologi dapat berlangsung.

Kepunahan juga mengancam biota invertebrata dan serangga. Kepunahan serangga dapat berakibat fatal karena mereka merupakan agen penyerbuk, menyilangkan benang sari dan putik. Dari merekalah ada pembuahan dan kita dapat memakan buah-buahan. Petani kelapa sawit harus mempertahankan serangga penyerbuk, tapi terkadang secara tidak sadar membunuh serangga ini akibat penggunaan pestisida untuk membasmi hama.

Terbunuhnya kumbang penyerbuk bunga sawit Elaeidobius kamerunicus dapat menurunkan produksi sawit hingga 35 persen. Ecological Economics Journal (2005) mencatat nilai ekonomi serangga penyerbuk di dunia adalah 153 miliar euro atau sekitar Rp 2,4 triliun untuk tanaman-tanaman pokok penyokong produksi pangan pertanian dunia. Kerugian besar dapat terjadi apabila serangga penyerbuk tersebut hilang serta produksi buah-buahan dan sayur-sayuran, tanaman seperti kopi dan kakao yang diserbuki oleh serangga, menurun produksinya akibat hilangnya serangga penyerbuk.

Fachruddin M. Mangunjaya

Fachruddin M. Mangunjaya

Ketua Pusat Pengajian Islam Universitas Nasional, Dosen S3 Fakultas Ilmu Politik Universitas Nasional

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus