Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Api dalam Sekam di Papua

Kerusuhan kembali terjadi di Kabupaten Dogiyai, Papua Tengah. Berhubungan dengan pembangunan yang sentralistik dan dipaksakan.

21 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kerusuhan demi kerusuhan terus terjadi di Papua.

  • Pembangunan yang sentralistik dan dipaksakan telah merusak kehidupan sosial penduduk.

  • Industrialisasi hanya mengeruk sumber daya alam, tapi mengabaikan kehidupan masyarakat setempat.

Bagong Suyanto
Dekan FISIP Universitas Airlangga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kondisi Papua ibarat api dalam sekam. Meski banyak dana telah dikucurkan, infrastruktur telah dibangun, dan pendekatan kemanusiaan telah diupayakan, bara Papua sepertinya belum juga padam. Kerusuhan demi kerusuhan masih saja terjadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Konflik Papua terbaru pecah di Kabupaten Dogiyai. Suasana di kabupaten yang terletak di Papua Tengah itu mencekam selama 13-14 Juli 2023. Massa dilaporkan menyerang dan membakar puluhan rumah dan fasilitas publik. Kerusuhan yang dipicu rumor tentang tertembaknya dua warga sipil di Dogiyai itu menyebabkan setidaknya 69 bangunan dilaporkan dibakar massa. Tiga aparat keamanan dikabarkan terluka terkena panah saat mengamankan lokasi penjarahan di Kampung Moanemani.

Kerusuhan yang pecah di Dogiyai ini bukanlah kasus pertama. Pada November 2022, kerusuhan serupa pernah terjadi di sana. Saat itu kerusuhan dipicu oleh kasus tertabraknya seorang bayi berusia di bawah 5 tahun. Masyarakat berang, lalu menyerang aparat keamanan dan merusak sejumlah bangunan. Satu warga sipil dilaporkan tewas dalam kerusuhan ini.

Penolakan

Daftar berbagai kerusuhan di Papua ini dapat terus diperpanjang. Yang terbaru, di tengah upaya berbagai pihak mencari langkah-langkah perdamaian akibat kerusuhan di Dogiyai, Kelompok Separatis Teroris (KST) kembali berulah. KST ada indikasi makin berani melawan aparat keamanan. Pada 17 Juli 2023, mereka menyerang kantor kepolisian dan komando rayon militer di Homeyo, Intan Jaya, Papua Tengah.

Di berbagai wilayah, aksi KST dan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) terus saja terjadi. Sasaran mereka, selain bangunan yang menjadi simbol keamanan negara, sering kali adalah rumah dan bangunan milik pendatang. Di setiap kerusuhan, toko di pasar dan rumah milik pendatang umumnya dirusak dan dibakar. Para pendatang sering menjadi sasaran utama karena kehadiran mereka dinilai sebagai bentuk invasi dan berpotensi menyebabkan terjadinya suksesi kepemilikan aset warga lokal.

Di Papua, kehadiran pendatang dinilai sebagai bentuk perkembangan jaringan bisnis internasional dan nasional yang eksploitatif. Mengapa demikian? Ngadisah (2003) menyimpulkan bahwa inti dari gerakan sosial di Papua adalah penolakan terhadap kebijakan pembangunan yang mengabaikan keberadaan masyarakat lokal.

Pembangunan yang bersifat sentralistik dan dipaksakan dari atas tak hanya melahirkan perubahan pada tradisi, tercabiknya nilai-nilai spiritual, dan perubahan pola mata pencarian penduduk, tapi juga kesenjangan sosial dan perampasan hak-hak masyarakat adat. Untuk menuntut kembali hak-hak mereka itulah akhirnya masyarakat Papua tak hanya melancarkan protes, tapi juga gerakan sosial yang berkepanjangan.

Di Papua, perencanaan dan pembangunan hanya mencakup aspek-aspek teknis dan finansial serta tidak memperhitungkan biaya sosial yang harus ditanggung penduduk lokal, terutama eksistensi adat dan hak-hak adat masyarakat. Hal ini terbukti melahirkan sejumlah masalah sosial-budaya. Kesenjangan budaya antara kultur kapitalisme yang sudah mengglobal dan sistem nilai tradisional telah menimbulkan kejutan budaya. Bahkan Ngadisah (2003) juga menemukan bahwa sebagian warga lokal Papua yang menolak kehadiran industrialisasi tak sekadar melakukan protes sosial, tapi juga melakukan serangkaian aksi yang dapat ditengarai sebagai suatu gerakan sosial.

Kegagalan masyarakat menyesuaikan diri (readjustment) terhadap perubahan yang cepat akibat industrialisasi menyebabkan mereka mudah terpicu untuk melakukan gerakan-gerakan radikal dan merusak. Secara garis besar, ada beberapa akar penyebab terjadinya aksi-aksi merusak di Papua. Pertama, ketika perusahaan dan jaringan kapitalisme yang masuk dinilai telah mengambil tanah adat jauh di luar batas.

Kedua, kucuran bantuan yang disalurkan kepada penduduk lokal dinilai cenderung hanya dinikmati oleh elite lokal tertentu. Padahal, di sisi lain, ada pihak yang mengklaim sebagai yang paling berhak atas pemanfaatan dana itu.

Ketiga, aset masyarakat mulai dijarah, tapi kompensasi yang diberikan investor ternyata tidak sesuai dengan harapan. Dalam pelaksanaan program rekognisi ini ada tiga titik rawan, yaitu pada tahap penentuan batas tanah ulayat, penentuan besar-kecilnya ganti-rugi, penentuan pemborong, dan sistem pembayaran yang dirasa merugikan kepentingan masyarakat lokal secara keseluruhan.

Titik Rawan

Harus diakui bahwa tidak mudah bagi suku-suku atau penduduk lokal Papua untuk segera menyesuaikan diri dengan akselerasi perubahan dan tuntutan situasi baru yang berlangsung di sekitar mereka. Dengan latar belakang pendidikan yang sangat kurang dan kualitas sumber daya manusia yang tidak sesuai dengan kriteria dan kepentingan dunia industri yang menuntut profesionalisme, tidak banyak hal yang bisa mereka lakukan untuk beradaptasi dengan proses perubahan yang terjadi di hadapan mereka.

Penelitian yang dilakukan FISIP Universitas Airlangga pada 2014 menemukan bahwa hanya sedikit penduduk yang dapat terserap dan ikut menikmati kegiatan industrialisasi. Selain itu, mereka acapkali menjadi korban situasi. Kehidupan penduduk, yang masih berkutat dengan peralatan produksi yang serba tradisional dan pengetahuan serta keterampilan yang minimal untuk dapat dijadikan bekal melakukan diversifikasi usaha atau pergeseran okupasi, itu acapkali makin sulit ketika industrialisasi yang berlangsung di sekitar mereka ternyata justru mengambil sebagian terbesar sumber daya alam yang tersedia.

Dalam lima tahun terakhir, keresahan dan kerusuhan yang berkembang di Papua cenderung semakin intensif. Banyak bukti menunjukkan, ketika keberadaan penduduk lokal terabaikan, sementara kegiatan industrialisasi dinilai lebih banyak bersifat eksploitatif dan berjalan serba rasional, pelan-pelan hal itu akan menggerogoti daya tahan sosial masyarakat. Munculnya berbagai aksi kerusuhan di Papua merupakan titik rawan bagi munculnya disintegrasi masyarakat, termasuk munculnya ketidakpercayaan (distrust) terhadap hal-hal yang berkaitan dengan industrialisasi.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke email: [email protected] disertai dengan nomor kontak, foto profil, dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Bagong Suyanto

Bagong Suyanto

Dekan FISIP Universitas Airlangga

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus