Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Ketahanan Rezim-rezim Arab

Gerakan protes rakyat Arab untuk menumbangkan rezim kembali berembus kencang setelah mengalami jeda cukup panjang.

3 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ibnu Burdah
Dosen UIN Sunan Kalijaga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gerakan protes rakyat Arab untuk menumbangkan rezim kembali berembus kencang setelah mengalami jeda cukup panjang. Selama sekitar tujuh tahun, berita di dunia Arab diwarnai dengan perang masif terhadap Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Irak serta perang Yaman yang mengakibatkan krisis kemanusiaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gerakan protes rakyat seperti terhenti selama masa itu karena mereka menyaksikan akibat-akibat lanjutan dari proses penggulingan rezim yang sangat buruk. Konflik dan perang pecah di mana-mana, yang disertai dengan penderitaan rakyat dan kehancuran dalam skala sangat luas.

Rakyat di negara-negara Arab seperti diliputi ketakutan dan pesimisme terhadap gerakan mereka. Amat pantas mereka khawatir preseden Suriah dan Yaman akan menimpa negerinya jika mereka memaksakan pergantian rezim melalui protes jalanan.

Namun gerakan protes kembali pecah di Aljazair dan Sudan. Dua rezim Arab yang berbasis militer itu baru saja tumbang, yakni rezim Bouteflika di Aljazair dan rezim Umar Basyir di Sudan. Musim Semi Arab gelombang kedua ini, kendati karakternya sama, menunjukkan hal berbeda. Protes ini berlangsung lebih damai dan menimbulkan sedikit korban. Bahkan di Aljazair tak ada satu pun nyawa melayang dalam aksi demonstrasi masif selama berpekan-pekan. Hal ini terjadi, antara lain, berkat sikap militer yang menunjukkan arah tegas sejak awal, yakni menolak melakukan represi terhadap rakyat.

Hal ini sangat berbeda dengan Musim Semi Arab gelombang pertama pada 2011-2012. Setidaknya ada empat rezim yang tumbang kala itu. Penjatuhan rezim Zaenal Abidin bin Ali di Tunisia, Husni Mubarak di Mesir, Muammar Khaddafi di Libya, dan Ali Abdullah Soleh di Yaman disertai korban nyawa dalam jumlah cukup besar. Di Libya dan Yaman, korban kemanusiaan berlipat-lipat akibat konflik berkepanjangan.

Dari empat negara itu, tiga di antaranya mengalami kekacauan hebat dengan tingkat destruksi dan korban kemanusiaan sangat besar. Hanya Tunisia yang selamat dan bisa melanjutkan proses demokrasi kendati pada fase-fase awal juga mengalami guncangan tak kecil.

Dengan adanya preseden gerakan rakyat Aljazair yang "damai", apakah rezim-rezim Arab lain akan mampu menahan laju gerakan rakyat yang cenderung menular ke negara-negara Arab lain?

Secara umum, kita bisa menilai bahwa rezim militer di dunia Arab cenderung lebih mudah tumbang dibandingkan dengan negara-negara Arab monarki. Dari 23 negara Arab, delapan di antaranya monarki, baik rajanya yang disebut al-malik, emir, maupun sultan. Kebanyakan dari mereka berada di Teluk; satu di Levant, yakni Kerajaan Yordania; dan satu lagi di Arab Barat, yakni Maroko. Sisanya adalah kekuasaan yang hampir semuanya berbasis militer.

Dari delapan rezim monarki itu, tak satu pun yang tumbang oleh gerakan rakyat, baik gelombang pertama maupun gelombang kedua. Gerakan protes sempat mencuat cukup besar di Bahrain, Maroko, dan pada tingkat tertentu di Oman. Namun semuanya dapat diredam melalui program sosial, reformasi konstitusi, cara semi-militer, dan sebagainya. Hingga saat ini belum tampak tanda-tanda akan terjadi gerakan rakyat dalam skala besar di wilayah negara-negara Arab monarki.

Kekuatan monarki-monarki Arab untuk bertahan itu beragam. Kekuatan itu sebagian bersumber dari legitimasi agama, seperti Penjaga Dua Tanah Suci di Saudi serta keturunan nabi di Yordania dan Maroko. Kekuatan itu juga bisa berupa ekonomi dan keberhasilan proses pembangunan pada tingkat tertentu, sebagaimana terjadi di kebanyakan negara Teluk. Kendati negara-negara Teluk mengalami penurunan penghasilan signifikan dari sektor minyak, tingkat kesejahteraannya masih berada jauh di atas rata-rata kesejahteraan rakyat Arab. Mungkin masih banyak alasan lain untuk menjelaskan ketahanan rezim-rezim monarki Arab. Faktanya, kepemimpinan tradisional lebih mampu bertahan di dunia Arab sejauh ini.

Adapun rezim militer di Arab sudah terbukti lebih rentan mengalami kejatuhan. Enam rezim yang tumbang oleh gerakan rakyat Arab, baik gelombang pertama maupun kedua, adalah rezim militer. Di luar mereka, praktis hanya rezim Mauritania dan Suriah yang belum tumbang. Karena itu, tak sedikit pengamat yang melihat rezim Mauritania akan menjadi korban berikutnya dari gelombang kedua protes rakyat Arab.

Rezim-rezim di Libanon, Irak, Somalia, Palestina, dan lain-lain merupakan rezim yang relatif tidak kuat. Penguasa di negara-negara ini bahkan rentan akan pergantian secara cepat akibat konflik-konflik politik yang rumit. Rezim-rezim ini relatif mudah jatuh tanpa gerakan rakyat sekalipun. Rezim militer Suriah juga sempat mengalami guncangan hebat tapi akhirnya mampu bertahan kendati melalui perang yang sungguh mengerikan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus