Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Kiai dan Habib

Ketika nasab atau garis keturunan selalu diagungkan, materi dan kedudukan yang dibanggakan, selalu mencari popularitas yang dikedepankan, justru takabur akan tumbuh subur.

6 Juli 2023 | 14.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Habib Abdullah Haddad bin Alwi Assegaf—populer dengan Haddad Alwi (HA)—membagikan video pendek. Hanya berdurasi 53 detik. Isinya, pertemuan silaturrahim Habib Jindan bersama KH. Anwar Manshur, KH. Kafabihi Mahrus, dan beberapa kiai lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak ada penjelasan, di mana pertemuan itu berlangsung. Kemungkinan di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jatim. Mungkin saja usai Habib Jindan menghadiri acara di sana. Atau dia sowan khusus. Habib muda nan alim ini memang sering ke pesantren. Biasa sowan kiai. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KH. Anwar Manshur yang biasa disapa Mbah War itu, juga Kiai Kafabih, tak lain adalah Dewan Masyayikh atau pengasuh Pesantren Lirboyo. Karena senioritasnya, Mbah War tercatat sebagai pengasuh utama. 

Pesantren Lirboyo, kita tahu, merupakan salah satu pesantren tua dan terbesar di Indonesia. Jumlah santrinya sekitar 40 ribu. Tak sedikit alumninya yang jadi kiai terkemuka. Sebut saja, KH. Maemoen Zubair, KH. Cholil Bisri, KH. Dimyati Rois, KH. Mustofa Bisri, juga KH. Said Aqil Siraj, di antaranya. 

Tabarruk

Yang menarik dalam video tersebut, tampak jelas sekali, Habib Jindan mengambil segelas air putih yang sudah tersedia di depannya. Dia persilahkan Mbah War untuk meminum. Kemudian, gelas itu diberikan kepada Kiai Kafabih, dipersilahkan untuk meminum pula.

Setelah itu, baru Habib Jindan meminumnya. Dari gelas yang sama. Hanya tiga tegukan, sebagaimana disunnahkan. Lalu, gelas air itu diminta kiai yang lain. Di sini pun Mbah War masih mengambil gelas sendiri, meminta air sisa yang telah diminum Habib Jindan tersebut.

Video serupa pernah saya lihat pula. Dilakukan Habib Ali al-Jufri, juga kepada Mbah War, saat menghadiri jalsatul ilm di kediaman Habib Umar Mutohar, Cepoko Semarang, pada akhir 2019 lalu. Hal yang sama juga dilakukannya saat bertandang ke kediaman Prof. Dr. Quraish Shihab. Videonya sudah cukup lama tersebar di media. 

Di kalangan nahdliyin, fenomena seperti itu bukan sesuatu yang aneh. Ada yang menyebut itu sebagai cara berbagi “berkah” di antara mereka. Bagi santri khususnya, berebut “bekas” yang telah diminum atau dimakan kiai juga mempunyai nilai tersendiri. Tabarrukan, katanya. 

Tak lain, ngalap berkah atau mencari tetapnya kebaikan dari Allah Swt., melalui perantaraan (wasilah) pengaruh dari orang-orang yang dipandang suci. Seperti nabi, wali, kiai dan habib, atau orang-orang saleh, yang dengan wasilahnya diyakini dapat mendatangkan kebaikan. 

Keyakinan tentang tabarruk tidak hanya berlaku di kalangan penganut Ahlus-Sunnah wal-Jamaah (sunni), paham yang dianut NU dan mayoritas muslim di dunia. Kalangan Syiah juga meyakini itu. Mereka, misalnya, menggunakan turbah sebagai wasilah untuk tabarruk.

Turbah adalah tanah yang diambil di sekitar makam suci para imam. Terutama dari tanah makam sayyidina Husein di Karbala, 100 km dari kota Baghdad, Irak. Di kalangan Syiah, turbah merupakan simbol penting yang sangat diagungkan. Diyakini penuh keberkahan. 

Tapi kita tidak akan membahas masalah itu di sini. Yang jelas, HA membagikan video tersebut ke saya juga bukan untuk kepentingan itu. 

Tawadhu'

Lalu, untuk apa? HA ingin menunjukkan saja pelajaran yang sangat berharga. Meski singkat, video tersebut—juga video serupa lainnya—dapat menjelaskan banyak hal. Utamanya, bagaimana seharusnya kita belajar tawadhu'. 

Mereka adalah kiai dan habib panutan. Baik Mbah War, Habib Jindan, Habib Ali al-Jufri, maupun Prof. Dr. Quraish Shihab, adalah tokoh-tokoh ternama, berilmu tinggi, dan banyak pengikutnya. Tetapi mereka bisa saling menghormati, saling menghargai. 

Mbah War, selain pengasuh Pesantren Lirboyo, kiprah ke-NU-annya juga sangat nyata. Sebagai Rais Syuriah PWNU Jawa Timur, sekaligus Mustasyar (dewan penasehat) PBNU, tentu sangatlah disegani. 

Di jajaran elite NU ada dua nama hampir sama. Keduanya, sama-sama dari Kediri. Yakni, KH. Anwar Iskandar, biasa disapa Gus War, Wakil Rais Aam PBNU. Dan tentu Mbah War sendiri. Kini, usianya sudah 85 tahun. Panggilan “Mbah” bukan hanya karena usianya itu, tetapi karena kedalaman ilmu dan akhlaknya. Meski disegani, kiai sepuh ini selalu rendah hati. 

Lalu, Habib Jindan. Lengkapnya: Jindan bin Novel bin Salim. Cucu Habib Salim bin Ahmad bin Jindan (1906-1969), pejuang dan gurunya para habaib Betawi yang dijuluki “singa podium” itu, tak lain adalah murid kesayangan Habib Umar bin Hafidz, Tarim, Yaman. 

Usianya memang masih muda. Kelahiran 21 Desember 1977. Tapi penguasaan ilmu dan kedalaman akhlaknya luar biasa. Lihat saja, bagaimana dia bisa merendahkan diri di hadapan kiai sepuh seperti Mbah War, juga yang lainnya.   

Demikian pula Habib Ali al-Jufri. Dia pun tergolong muda. Usianya 52 tahun. Dai kelahiran Jeddah, Saudi Arabia, yang masuk jajaran ‘50 tokoh muslim paling berpengaruh di dunia’ ini sudah melalang buana ke seluruh penjuru dunia. Ceramah-ceramahnya digandrungi, tidak hanya di Timur Tengah sendiri. Tetapi juga di Asia dan Afrika.

Bahkan di beberapa negara Eropa dan Amerika, tak sedikit yang menitikkan air mata ketika mendengar uraiannya yang begitu mengesankan tentang Islam. Baginya, Islam harus ramah. Sikap ini pula yang selalu ditunjukkannya. Dia selalu tersenyum setiap kali merespons persoalan, yang menghina Islam sekalipun. Meski punya nama besar, dia tetap santun, tak pernah tinggi hati. 

Dan, selanjutnya, Prof. Dr. Quraish Shihab. Bagi masyarakat Indonesia, siapa yang tak kenal nama besarnya? Ahli tafsir yang sangat produktif ini juga mantan menteri (Menag di masa Presiden Habibie), tapi tetap bersahaja. Dia tak mau dipanggil habib. 

“Jangan panggil saya habib,” pintanya berulang kali. Kenapa? Dia merasa belum memiliki ilmu dan akhlak yang sejalan dengan ajaran agama. ‘Merasa belum memiliki’ adalah sikap batin yang tumbuh karena kerendahan hati. 

Baginya, panggilan habib itu berat konsekuensinya. Ia tak hanya mau dicintai, tetapi juga harus mencintai. “Kalau hanya mau dicintai, bukan habib namanya.” Demikian pak Quraish, tegas. Panggilan “pak Quraish” akhirnya sangat akrab, bahkan juga untuk saudara-saudaranya: pak Umar dan pak Alwi, misalnya. 

Itu semua di antara sikap tawadhu' yang utama. Nama besar, ilmu yang tinggi, juga popularitas, tak sedikitpun memalingkan hati untuk selalu menampilkan laku akhlak terpuji. Rendah hati kepada siapa saja, atau bersikap “merendahkan diri” sekalipun, tak akan membuat rendah di hadapan sesama. 

Namun ketika nasab atau garis keturunan selalu diagungkan, materi dan kedudukan yang dibanggakan, selalu mencari popularitas yang dikedepankan, justru takabur akan tumbuh subur. Merasa paling mulia di hadapan sesama. Sifat dan sikap yang dilawankan dengan tawadhu, akhlak terpuji yang diwariskan para Nabi. 

Menghormati yang tua, menyayangi yang muda, terutama kepada mereka yang dipandang “lemah” kedudukannya, tak pernah sekali-kali melemahkan. Apalagi merendahkan. Inilah juga ajarannya yang utama, selalu menjadi laku hidup Nabi. 

“Rasulullah saw. sangatlah pemalu (mempunyai rasa malu dan bersalah), dan sangat tawadhu'. Dia juga sangat mencintai para fakir miskin, dan (tak segan-segan) mau duduk bersama mereka.”

Begitulah Sayid Ja'far bin Hasan bin Abdul Karim bin Muhammad al-Barzanji (1711-1766) menuliskan dalam kitab Mawlid al-Barzanji, salah satu kitab mawlid paling populer yang tersebar luas di seluruh penjuru dunia Islam, baik Timur maupun Barat.

Wakana RasuluLlahi shallaLlahu 'alaihi wasalam syadidal haya'i wattawadhu'i, yuhibbul fuqara'a wal-masakina, wayajlisu ma'ahum.

Bait itu selalu dibaca saat merayakan mawlid. Di kampung-kampung, bahkan sudah rutin tiap malam jumat, setiap kali gelaran Barzanjian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus