Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kinerja Polri masih menjadi sorotan utama masyarakat sepanjang akhir tahun.
Kritik banyak disalurkan masyarakat melalui media sosial.
Kepala Polri perlu mengevaluasi lembaganya dan menegakkan disiplin jajarannya.
Ikhsan Yosarie
Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua bulan menjelang akhir tahun, sorotan terhadap kinerja institusi Kepolisian RI semakin masif. Media sosial kembali menjadi sarana yang menunjukkan potret buruk Korps Bhayangkara. Jika dirunut-runut, sorotan terhadap kinerja Kepolisian Resor Luwu Timur dalam penanganan kasus dugaan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur menjadi awal mula masifnya sorotan terhadap kepolisian belakangan ini. Buruknya penanganan kasus tersebut diiringi dengan menularnya informasi di media sosial hingga melahirkan tagar #PercumaLaporPolisi di Twitter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentu, kasus Luwu Timur bukanlah yang pertama. Kritik publik terhadap kinerja kepolisian akhir-akhir ini merupakan letupan dari tumpukan kasus yang mencerminkan buruknya kinerja anggota Polri. Letupan tersebut berasal dari masyarakat yang mengalami langsung, mendengar, ataupun melihat tindakan polisi dalam pelayanan publik yang tidak mencerminkan konsep presisi, yang terdiri atas prediktif, responsibilitas, transparansi, dan berkeadilan. Media sosial kemudian menghubungkan keresahan, kegerahan, dan kekesalan masyarakat itu sehingga sorotan tersebut meluas.
Dua kasus yang terjadi baru-baru ini juga mencerminkan hal tersebut, yakni tidak mencerminkan konsep presisi dan peran media sosial dalam menghubungkan keresahan publik atas kinerja kepolisian. Pertama, kasus polisi yang menolak laporan seorang korban perampokan di Pulogadung, Jakarta Timur. Polisi tersebut kemudian diadili dalam sidang etik dan profesi karena dinilai tidak berempati saat melayani korban perampokan. Kedua, kasus polisi yang mengabaikan korban tabrak lari di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Dalam video yang telah beredar luas, terlihat polisi yang mengendarai mobil dinas melintas begitu saja di tengah masyarakat yang mengerumuni seorang warga setempat yang menjadi korban tabrak lari.
Kedua kasus tersebut memiliki satu kesamaan, yakni viral di media sosial. Dalam keadaan demikian, suka atau tidak, respons cepat yang diberikan kepolisian berpotensi dianggap sebagai implikasi dari meruyaknya kasus tersebut. Sebab, andaikan peristiwa itu tidak viral, masyarakat menilai respons serupa belum tentu diberikan oleh Polri. Pada titik ini, kita dapat dengan mudah memahami kemunculan tagar #noviralnojustice terhadap kinerja kepolisian.
Munculnya tagar tersebut seharusnya menjadi lecutan serius bagi kepolisian. Institusi yang diberi kewenangan untuk menegakkan hukum dan menghadirkan keadilan bagi masyarakat itu justru dianggap berkinerja hanya bila suatu kasus viral dan mendapat sorotan masyarakat. Bila demikian, bisa dibayangkan potensi-potensi yang dapat terjadi pada penanganan kasus-kasus yang sama sekali tidak diketahui publik luas.
Menghadirkan keadilan di tengah masyarakat seharusnya dilakukan dalam kondisi apa pun. Sebab, itulah amanat undang-undang kepada kepolisian. Selain itu, keadilan adalah sesuatu yang sangat berharga bagi mereka yang hak-haknya dirampas. Polri sudah sepatutnya mengevaluasi kinerjanya secara komprehensif sebagai respons terhadap kritik masyarakat ini.
Kemunculan media sosial secara perlahan menjadi basis kekuatan politik yang efektif dimanfaatkan oleh masyarakat sipil sebagai corong untuk menyuarakan keadilan dan kritik. Arus informasi pun kemudian bergerak begitu cepat, yang bahkan dalam hitungan detik. Sekat-sekat pembatas arus, seperti jarak dan ruang, menjadi hilang.
Fenomena ini menjadi pertanda mulai kritis dan cerdasnya masyarakat Indonesia dalam menggunakan media sosial. Melalui media sosial, warganet menghukum pejabat negara atau institusi yang berkinerja buruk dengan menyebarluaskan kasus mereka agar diketahui publik luas. Dengan demikian, media sosial dapat menjadi "kamera keamanan" bagi masyarakat sipil untuk melihat dan memantau tingkah polah elite politik, elite pemerintahan, ataupun institusi pemerintah.
Media sosial juga memastikan aspirasi dan suara-suara masyarakat tersalurkan. Suara-suara keresahan tersebut bahkan menyatu dengan suara-suara dari masyarakat di berbagai daerah yang merasakan hal yang sama. Keresahan tersebut menjelma sebagai keresahan publik dan menjadi gerakan sosial di media sosial dengan jejaring yang luas dan lalu lintas informasi yang cepat. Ini menjadi perkembangan media sosial yang progresif karena media sosial menjadi semacam kekuatan dengan daya tawar politik yang tinggi.
Sorotan masyarakat terhadap institusi Polri di pengujung 2021 perlu ditanggapi Polri dengan mengevaluasi lembaganya. Sorotan itu pada dasarnya mencerminkan harapan masyarakat kepada Polri agar kinerjanya maksimal dan berkeadilan. Sebab, banyak orang masih membutuhkan Polri untuk menghadirkan keadilan bagi mereka.
Konsep presisi Polri yang digagas Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dapat menjadi pedoman untuk mengevaluasi lembaganya. Namun tindakan tegas juga perlu diterapkan untuk memastikan evaluasi itu berjalan, termasuk dengan memberi sanksi mutasi atau bahkan pencopotan terhadap pimpinan kepolisian di daerah jika tidak mampu mendisiplinkan anggota-anggotanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo