Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masihkah Anda mengikuti berita di sekitar koalisi partai politik? Syukur jika tidak bosan. Namun jangan terlalu serius karena sejumlah manuver partai belakangan ini lebih baik ditonton sebagai hiburan semata. Semakin mendekati pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden, semakin banyak hal yang lucu. Bahkan kadang-kadang meremehkan akal sehat kita. Barangkali petinggi partai memang kehabisan bahan untuk gagasan yang cemerlang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Coba kita telisik sekumpulan partai dalam kandang koalisi itu. Dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), yakni kumpulan Partai NasDem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Demokrat. Koalisi yang secara resmi dideklarasikan pada akhir Maret lalu itu mengusung Anies Baswedan sebagai calon presiden. Sedangkan siapa calon wakil presidennya, ketiga partai menyerahkan keputusan itu kepada Anies. Siapa pun yang dipilih Anies, ketiga partai solid mendukungnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi apa benar solid? Ternyata ada riak-riak yang bisa membantah kesolidan tersebut. Urusannya tak lain soal calon wakil presiden. Partai Demokrat dengan terang benderang mengusung ketua umumnya, Agus Harimurti Yudhoyono. Di berbagai kesempatan, hal itu disampaikan, tapi dengan embel-embel: siapa pun yang dipilih Anies, itulah calon terbaik. Anies sendiri, karena terus didesak untuk mengumumkan calon wakilnya, berkelit dengan menyebutkan akan mengumumkan pada saatnya di hari yang tepat. Adapun hari yang tepat itu selalu berubah. Pernah disebutkan setelah kepulangan dari menunaikan ibadah haji. Anies sudah kembali ke Tanah Air, hari yang tepat pun belum datang.
Semakin lucu ketika berulang disebut, calon wakil presiden itu sudah ada di kantong. Kantongnya siapa? Entah, karena nama-nama yang digadang berseliweran. Ketika diberi sinyal seorang perempuan, para pengamat pun main tebak: Khofifah Indar Parawansa, Yenny Wahid, dan teranyar Susi Pudjiastuti. Ini membuat Demokrat gusar seraya mendesak agar calon itu diumumkan secepatnya. Lo, kenapa gusar? Bukankah siapa calon wakil itu tergantung Anies sendiri yang memilihnya? Nah, ini kan lucu.
Mari kita telisik koalisi yang lain, gabungan Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Disebut dengan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR), sudah sebelas bulan koalisi ini lahir. Dalam kesepakatan itu pun disebutkan, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto akan menjadi calon presiden. Sedangkan calon wakil presiden diserahkan ke Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar. Kini, Muhaimin gusar atas manuver Partai Amanat Nasional (PAN) yang merapat ke Gerindra dengan membawa calon wakil presidennya, Erick Thohir. Muhaimin alias Cak Imin sudah berkali-kali menyindir kenapa Prabowo belum mengumumkan calon wakilnya. Boleh jadi Prabowo sedang berhitung, pilih Cak Imin atau Erick. Pertimbangannya tak sekadar elektabilitas, tapi juga logistik. Kalaupun PKB hengkang dari KKIR, koalisi Gerindra dan PAN tetap bisa mengusung calon presiden karena syarat sudah terpenuhi. Beda dengan KPP, jika Demokrat mangkel dan keluar koalisi, NasDem dan PKS tak cukup syarat mengusung calon presiden.
Lalu, koalisi mana yang solid? Hanya koalisi yang bergabung ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) lantaran partai yang gabung hanya menjadi pelengkap. Tanpa koalisi pun, partai berlambang kepala banteng itu sudah bisa meloloskan calon presidennya. Dan calon itu sudah diumumkan, Ganjar Pranowo. Tugas PDIP saat ini seperti hanya menggoda partai lain untuk ikut bergabung dengan memberi harapan. AHY dan Cak Imin dimasukkan radar calon wakil presiden. Andai AHY bergabung, KPP otomatis bubar meski wakil Ganjar belum tentu AHY. Sedangkan jika Cak Imin benar dijadikan wakil Ganjar, ini bisa dahsyat tanpa mengorbankan Prabowo karena PAN siap menggantikan PKB.
Godaan PDIP berlanjut ke Golkar, partai yang mulai diobok-obok kadernya sendiri. Semuanya baru pada tingkat goro-goro. Koalisi pun hanya untuk membagi kekuasaan, bukan kesamaan ide. Kenapa manuver lucu ini harus kita anggap serius untuk bangsa dan negara?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo