Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Strategi Startup dan Kolapsnya Bank Silicon Valley

Silicon Valley Bank kolaps karena terlalu berfokus pada bisnis startup. Pelajaran apa yang dapat dipetik?

4 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Bank Silicon Valley kolaps karena rush oleh perusahaan rintisan.

  • Strategi bakar uang oleh perusahaan rintisan sudah tidak zaman lagi.

  • Bank harus lebih selektif dalam mengucurkan kredit ke perusahaan rintisan.

Paul Sutaryono
Assistant Vice President BNI (2005-2009)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kebangkrutan Bank Silicon Valley (SVB) di Amerika Serikat pada Maret lalu menjadi sorotan dalam industri perbankan global. Pelajaran berharga apa yang dapat dipetik dari kasus tersebut bagi perusahaan rintisan (startup) bidang teknologi informasi di Indonesia?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagai bank besar ke-16 di Amerika, SVB berfokus pada pemberian kredit kepada startup. Bank yang berdiri pada 1983 itu memiliki total aset US$ 212 miliar atau setara dengan Rp 3.286 triliun per kuartal IV 2022. Bank besar itu bisa kolaps karena terjadi penarikan simpanan besar-besaran (rush) oleh perusahaan rintisan yang menjadi fokus pengucuran kredit SVB.

Perusahaan rintisan adalah perusahaan yang baru berdiri atau masih dalam tahap merintis yang umumnya bergerak di bidang teknologi dan informasi di dunia siber. Di Indonesia, perusahaan semacam ini berkembang pesat.

Jenis perusahaan rintisan dibedakan menjadi dua, yaitu perdagangan elektronik (e-commerce) dan teknologi finansial (fintech). Perdagangan elektronik merupakan perusahaan yang menyediakan platform jual-beli online. Sementara itu, istilah “teknologi finansial” lebih berpusat pada perusahaan yang berinovasi di bidang jasa keuangan dengan sentuhan teknologi modern. Perdagangan elektronik dan teknologi finansial bersinergi. Perdagangan elektronik sebagai platform jual-beli dan teknologi finansial membantu proses jual-beli tersebut agar dapat diterima masyarakat luas.

Perusahaan rintisan sering dikaitkan dengan strategi “bakar uang” sebagai cara cepat untuk berkembang. Namun, sejatinya, era “bakar uang” sudah selesai.

Awalnya, mereka berlomba-lomba memberikan diskon besar-besaran kepada konsumen. Upaya itu bertujuan menghimpun basis nasabah sebanyak mungkin. Mereka hanya mengejar pertumbuhan jumlah konsumen.

Dengan basis nasabah yang telah setinggi gunung, perusahaan rintisan berharap kelak konsumen tetap setia, meskipun diskon mulai menipis secara perlahan. Harapan itu ternyata tak sepenuhnya tercapai ketika pandemi Covid-19 mulai berjalan menuju endemi. Dengan bahasa lebih bening, mobilitas orang makin tinggi sehingga lama-kelamaan menekan perilaku berbelanja secara daring.

Selama ini perusahaan rintisan hanya memburu pertumbuhan (growth) jumlah konsumen dan seolah-olah tak mengejar pendapatan (revenue) untuk meraih keuntungan. Sudah barang tentu arus kas (cash flow) mereka akan compang-camping yang berujung merugi tinggi. Akhirnya, banyak perusahaan rintisan melepas banyak karyawan.

Simak saja data sejumlah perusahaan rintisan yang telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia sepanjang 2022. GoTo, misalnya, memecat 1.300 karyawan (12 persen), Koinworks 70 karyawan (8 persen), Zenius 200 karyawan (20 persen), LinkAja 200 karyawan (33 persen), dan SiCepat 366 karyawan (0,60 persen). Ternyata badai PHK belum usai. Pada 2023, GoTo mengumumkan perampingan organisasi yang berdampak pada pengurangan karyawan hingga 600 orang. Shopee International Indonesia pun akan mengurangi lebih dari 200 karyawan.

Pola bisnis demikian tidak hanya berlangsung di Indonesia, tapi juga di belahan dunia lainnya. Padahal pola bisnis sudah seharusnya mengejar profitabilitas dengan membangun saluran distribusi berbasis teknologi untuk melipatgandakan jumlah konsumen dalam waktu singkat. Walhasil, perusahaan rintisan harus segera menanggalkan bisnis model “bakar uang”.

Karena itu, perusahaan rintisan seharusnya mengetatkan ikat pinggang (efisiensi) untuk memperbaiki arus kasnya. Hal ini mutlak diperlukan agar mereka mampu bersaing dengan tangkas.

Selain itu, perusahaan rintisan harus meningkatkan modal inti. Modal inti merupakan keseluruhan modal yang dimiliki bank untuk menjalankan kegiatan usaha. Modal inti meliputi modal disetor ditambah keuntungan yang diperoleh setelah dipotong pajak.

Tak dapat dimungkiri bahwa modal merupakan tameng untuk menyerap pelbagai risiko, yang meliputi risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, dan risiko likuiditas. Risiko teknologi termasuk risiko operasional.

Perusahaan rintisan pun sudah semestinya meningkatkan penerapan manajemen risiko. Tentu saja, perusahaan rintisan bidang teknologi sudah sepatutnya menguasai teknologi untuk memitigasi risiko teknologi, seperti sistem yang tidak berfungsi.

Karena itu, perusahaan rintisan juga wajib mengedukasi serta mensosialisasi produk dan jasa yang ditawarkan dan dipasarkan selama ini. Edukasi dan sosialisasi itu wajib memuat baik madu (manfaat) maupun racun (risiko) produk dan jasa. Langkah ini penting untuk menekan potensi risiko bagi konsumen serendah mungkin. Hal itu sekaligus untuk mengerek tingkat kepercayaan perusahaan di mata konsumen.

Selain itu, mereka wajib menegakkan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance), yang meliputi transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi, dan kewajaran. Prinsip ini bertujuan menggenjot tingkat kepercayaan perusahaan di mata pemangku kepentingan, seperti Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, pemegang saham, mitra bisnis, dan konsumen.

Bagi dunia bisnis, kepercayaan merupakan elemen sangat penting dan mendesak. Apalagi bisnis perbankan. Bank bisa gulung tikar ketika banyak nasabahnya menarik simpanan secara besar-besaran gara-gara tingkat kepercayaannya anjlok. Contohnya, ya, SVB.

Karena itu, bank di Indonesia harus lebih selektif dalam mengucurkan kredit ke perusahaan rintisan yang kini berkembang bagai cendawan di musim hujan. Selain itu, bank wajib berupaya keras mencegah terjadinya konsentrasi kredit pada satu sektor bisnis seperti yang terjadi pada SVB.

Dengan memetik aneka pelajaran berharga demikian, perusahaan rintisan bidang teknologi di Indonesia amat diharapkan lebih mampu menggapai profit tinggi.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Paul Sutaryono

Paul Sutaryono

Assistant Vice President BNI (2005-2009)

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus