Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Simbol Negara

...yang lebih menarik adalah kenyataan bahwa Presiden bukan merupakan simbol negara sebagaimana yang dinyatakan oleh Kepala Humas dan Keterbukaan Informasi Publik UI di awal tulisan ini. Simbol atau lambang negara hanya terdiri atas empat: Bendera Sang Merah Putih, Bahasa Indonesia, Garuda Pancasila, dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.

3 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fariz Alnizar*

JAGAT media sosial kembali riuh. Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) memproduksi meme yang memicu kontroversi. Perdebatan memanas dan reaksi bermunculan. Salah satunya datang dari Kepala Humas dan Keterbukaan Informasi Publik UI. Begini pernyataan lengkapnya (saya kutip apa adanya dari portal Detik.com, 27 Juni 2021):

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Hal yang disampaikan BEM UI dalam postingan meme bergambar Presiden Republik Indonesia yang merupakan simbol negara, mengenakan mahkota dan diberi teks Jokowi: The King of Lip Service, juga meme lainnya dengan teks ‘Katanya Perkuat KPK Tapi Kok?’, ‘UU ITE: Revisi Untuk Merepresi (?)’, ‘Demo Dulu Direpresi Kemudian’ bukanlah cara menyampaikan pendapat yang sesuai aturan yang tepat, karena melanggar beberapa peraturan yang ada.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi saya, yang menarik dari kutipan panjang tersebut bukanlah soal isu dan isi meme yang sedang hangat diperbincangkan, tapi justru frasa simbol negara. Frasa ini berhasil membetot atensi dan mendulang tanya: apa gerangan yang dimaksud dengan simbol negara?

Bivitri Susanti, pakar hukum terkemuka, bilang bahwa terminologi simbol negara itu tidak ditemukan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Terminologi yang lazim dipakai adalah Lambang Negara. Opini ini memang sahih. Kita tidak menemukan frasa simbol negara dalam UUD 1945. Namun kita akan menemukannya dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Meski tidak secara eksplisit berwujud frasa simbol negara, kalimat berikut ini menunjukkan bahwa keempat lambang yang disebutkan di atas merupakan simbol negara:

Bendera Negara Sang Merah Putih, Bahasa Indonesia, Lambang Negara Garuda Pancasila, dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya merupakan jati diri bangsa dan identitas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keempat simbol tersebut menjadi cerminan kedaulatan negara di dalam tata pergaulan dengan negara-negara lain dan menjadi cerminan kemandirian dan eksistensi negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan Makmur” (Penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009).

Pada etape ini, hemat saya frasa simbol negara itu semukabalah dan identik dengan lambang negara. Perdebatan semantik tidak perlu dilanjutkan. Sebab, yang lebih menarik adalah kenyataan bahwa Presiden bukan merupakan simbol negara sebagaimana yang dinyatakan oleh Kepala Humas dan Keterbukaan Informasi Publik UI di awal tulisan ini. Simbol atau lambang negara hanya terdiri atas empat: Bendera Sang Merah Putih, Bahasa Indonesia, Garuda Pancasila, dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.

Di luar empat hal di atas, secara yuridis tidak ada lagi yang dapat dimasukkan dan dikategorikan sebagai simbol negara. Jika ada yang mengatakan bahwa presiden merupakan representasi dari sebuah negara, sehingga ia bisa menjadi simbol martabat sebuah bangsa, pernyataan ini barangkali lebih dimaksudkan bahwa presiden merupakan wakil yang merepresentasikan sebuah negara. 

Di luar soal simbol negara, agaknya kita juga masih sering kurang tepat dalam menyebut nama bendera bangsa kita. Merah Putih adalah frasa yang lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari untuk merujuk pada nama bendera bangsa Indonesia. Penyebutan ini tidak sepenuhnya salah, hanya kurang lengkap. Lagi-lagi, secara yuridis, nama bendera bangsa Indonesia adalah Sang Merah Putih, bukan Merah Putih dan bukan Sang Saka Merah Putih. 

Beberapa sumber menyatakan Sang Saka Merah Putih merupakan sebutan khusus untuk bendera yang dikibarkan pada Proklamasi 17 Agustus 1945. Inilah yang menjadi argumentasi dasar yang menjawab pernyataan mengapa dalam setiap pelaksanaan upacara kenegaraan yang diberi penghormatan adalah Sang Saka Merah Putih, bukan Sang Merah Putih, bukan juga kemerahan dan keputihan jika bendera yang digunakan sudah kusam dan berdebu.

Penyebutan ini masih bisa diperdebatkan secara luas. Dalam banyak kesempatan, saya juga menjumpai inspektur upacara menyebut “kepada Sang Merah Putih, hormat grakkk”.

Bendera kebangsaan kita memang harus kita hormati sepenuh hati. Sebab, ia punya kehormatan. Kehormatanlah yang menyebabkan kita menaruh rasa hormat. Itulah yang menjadi dasar bahwa gila hormat itu tidak baik. Sama seperti orang sedang berpuasa minta dihormati, Presiden yang sedang berkuasa juga demikian. Kepada mereka yang gila hormat dan sedikit-sedikit minta dihormati, ingin sekali saya berkata: situ bendera atau manusia, kok selalu minta dihormati?

*) PENGAJAR LINGUISTIK UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA INDONESIA, JAKARTA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus