Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahmad Suaedy*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SERAPAN kata asing ke bahasa Indonesia sering kali tidak terelakkan karena tak tersedia kata yang mewakili persis arti dan maksud kata itu, terutama kata diskursus dan teknis dari bahasa Inggris. Ini bukan disebabkan oleh miskinnya kosakata Indonesia atau daerah dan maknanya, melainkan boleh jadi karena perbedaan kultur dan historis. Sayangnya, setelah diserap ke bahasa Indonesia, arti kata itu justru sering kali menyimpang, bisa peyoratif, kabur keluar dari arti semula, atau eufemistis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terhadap tiga kata, yakni radikal, reformasi, dan revolusi, tidak mudah mencari kata yang tepat dan sepadan untuk mengartikannya dalam kata Indonesia atau bahasa semua daerah di Tanah Air. Karena itu, ketiganya nyaris tak tergantikan dan harus diserap. Namun, setelah terserap, ketiga kata tersebut mengalami penyimpangan makna dari maksud aslinya ataupun arti dan maksud dalam serapan itu sendiri.
•••
Radikal dan radikalisme adalah kata yang sedang naik daun beberapa tahun terakhir ini, berkaitan dengan kampanye besar-besaran program pemerintah tentang pemberantasan terorisme dan radikalisme. Juga program Moderasi Beragam yang dimotori Kementerian Agama. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tidak lupa membedakan arti dua kata itu. Radikal diartikan sebagai sesuatu yang dilakukan “secara mendasar” sampai ke masalah yang prinsip. Ia mengesankan sesuatu yang secara filosofis mendalam dan mendasar. Sedangkan radikalisme adalah sebuah “paham atau aliran politik” yang menginginkan perubahan mendasar, tapi secara filosofis justru sebenarnya dangkal.
Perbedaan arti radikal dan radikalisme di KBBI tersebut tidak berbeda dengan di Cambridge Dictionary. Hanya, Cambridge memberikan karakter pemberontakan pada kata radikalisme. Berbeda dengan penjelasan dua kamus tersebut, wacana publik dan pemerintah cenderung tidak membedakan. Keduanya diartikan dan dianggap sebagai ancaman terhadap eksistensi negara kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila. Seseorang atau kelompok yang dikategorikan radikal akan disamakan dengan radikalisme yang menginginkan perubahan mendasar untuk mengganti Pancasila dan menghancurkan NKRI secara dangkal. Bukan tidak mungkin kecenderungan ini akan mematikan pemikiran yang secara filosofis radikal dan justru mendorong pemikiran yang dangkal.
•••
Reformasi. Kata ini sangat terkenal pada 1998 bersamaan dengan perubahan drastis atas tuntutan mahasiswa dan masyarakat terhadap kebijakan Soeharto dan Orde Baru. KBBI memberi arti reformasi sebagai “perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara”. Cambridge Dictionary, lagi-lagi, memberikan penekanan pada unsur drastis dalam arti dari reformasi. Apalagi jika dikaitkan dengan reformasi oleh gerakan Protestan terhadap Gereja Katolik di abad XVII-XVIII, yang berefek pada sekularisme yang mengubah hampir seluruh wajah dunia.
Hingga kini di Indonesia, jika reformasi disebut, kata itu selalu mengandung konotasi perubahan relatif drastis pada 1998, paling tidak dalam beberapa aspek, yakni sistem multipartai dan otonomi daerah. Namun berbeda kesan terhadap praktik perubahan pasca-1998 itu sendiri. Contoh paling nyata adalah penamaan atas sebuah kementerian dengan nama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Usaha perbaikan birokrasi sudah terjadi sejak 1998 itu sendiri, tapi hingga kini tidak kunjung selesai dan cenderung maju-mundur. Reformasi sebagai nama institusi lantas kehilangan unsur drastis dan, karena itu, terjadi penyimpangan dari arti asli ataupun tujuan penyerapan kata tersebut.
Mengutip tulisan Joko Widodo di Kompas pada 10 Mei 2014 sebelum dia dilantik menjadi presiden: “Reformasi yang dilaksanakan di Indonesia sejak tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto tahun 1998 baru sebatas melakukan perombakan yang sifatnya institusional.” Maka Presiden merekomendasikan apa yang ia sebut revolusi mental: “Agar perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, dan sesuai dengan cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, kita perlu melakukan revolusi mental.”
•••
Revolusi. Kata ini dalam khazanah intelektual dan gerakan lebih belakangan daripada reformasi serta merupakan salah satu fenomena yang menonjol dari perubahan era modern. Revolusi industri yang berpusat di Inggris dan Revolusi Prancis merupakan perubahan itu. Cambridge Dictionary mengartikan revolusi sebagai cara perubahan suatu sistem politik secara tiba-tiba dengan mengandung kekerasan dan bahkan perang. Revolusi Prancis dan revolusi politik lain mengandung unsur-unsur tersebut.
Encyclopedia Britannica mengartikan revolusi industri sebagai suatu perubahan dari pola agraris ke manufaktur dalam ekonomi. Maka, meskipun lebih dari sekadar perubahan politik dan sistem pemerintahan melainkan lebih pada perubahan ekonomi, di dalamnya mengandung kekerasan dengan menggusur tenaga kerja manusia dengan mesin. Mana arti revolusi dalam kata majemuk revolusi mental yang ditawarkan Presiden Jokowi?
Jokowi menawarkan isi revolusi mental paralel dengan pengertian Tri Sakti Bung Karno, dalam pidatonya pada 1963, berbasis pada tiga pilar: “Indonesia yang berdaulat secara politik”, “Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan “Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”. Pengertian revolusi mental ini memberi harapan optimistis dan mungkin mewarisi tugas para pendiri bangsa yang belum terealisasi, meskipun menyimpang dari pengertian pertama di atas dan tak sejalan dengan pengertian kedua. Namun jebakannya adalah mengulang pada pengalaman masa lalu: revolusi belum selesai.
*) DEKAN FAKULTAS ISLAM NUSANTARA UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA INDONESIA, JAKARTA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo