Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Demokrasi dalam Melawan Pandemi

Robertus Robet
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta

4 April 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SANGGUPKAH kita melewati pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19) ini? Sejauh mana institusi politik kita mampu memberikan harapan untuk keberlangsungan hidup kita?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Belajar dari pandemi severe acute respiratory syndrome (SARS) 2012-2013, Jonathan Schwartz membandingkan respons Cina yang otoriter dan Taiwan yang demokratis dalam Journal of Chinese Political Science edisi 19 Juli 2012. Schwartz menemukan bahwa Cina memiliki keunggulan yang berasal dari “authoritarian advantage” dibanding Taiwan yang demokratis. Karena itu, Cina mengatasi wabah SARS lebih baik dan tuntas dibanding Taiwan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia menemukan tiga faktor yang membuat Cina lebih berhasil mengatasi wabah. Pertama, sentralisasi kekuasaan yang memudahkan koordinasi penanganan. Kedua, hubungan di antara institusi yang terkoordinasi lebih baik. Ketiga, adanya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sehingga menumbuhkan partisipasi yang luas untuk menghadapi krisis.

Penelitian Schwartz menunjukkan adanya signifikansi antara tipe suatu rezim dan respons yang mereka lakukan ketika menghadapi pandemi. Namun, di hadapan serangan virus corona hari ini, argumen “authoritarian advantage’” Schwartz tampaknya tidak lagi berlaku.

Keberhasilan Taiwan, Korea Selatan, dan Jerman dalam membendung pandemi menunjukkan rontoknya argumen itu. Negara-negara tersebut membuktikan bahwa prinsip dan perangkat demokrasi, seperti transparansi, partisipasi, dan kesadaran orang banyak, mampu menyelesaikan krisis dan menaklukkan penyebaran virus. Menteri Luar Negeri Korea Selatan bahkan secara lugas mengatakan bahwa prinsip-prinsip demokrasilah yang telah menolong mereka menghadapi wabah Covid-19.

Dalam menghadapi pandemi, negara non-demokratis seperti Cina dan Singapura bisa sama berhasilnya dengan negara demokratis seperti Taiwan dan Korea Selatan. Di ujung yang sama, negara non-demokratis seperti Iran bisa sama buruknya dalam menghadapi pandemi dengan Amerika Serikat, seterunya.

Dengan fakta itu, kebijakan model restriksi wilayah secara total atau terbatas di satu sisi dengan pembatasan sosial di sisi lain juga tampak tidak terlampau relevan dalam menentukan keberhasilan penanganan pandemi. Restriksi total barangkali berhasil di Cina, tapi tidak berhasil di Italia dan menghasilkan ketegangan sosial di India. Hasil ini berbanding terbalik dengan Jerman, Korea Selatan, dan Taiwan, ketika pemerintahan demokratisnya berhasil mendorong pembatasan sosial dengan mempertahankan keterbukaan dan menekan tingkat fatalitas.

Dengan melihat pengalaman Cina, Singapura, Taiwan, dan Korea Selatan, jelas bahwa tipe rezim politik tidak bisa dipakai untuk menentukan kesiapan dan keberhasilan negara dalam melawan pandemi. Pertanyaannya, faktor apa yang lebih menentukan keberhasilan suatu negara dalam menghadapi wabah? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu memperhatikan pengalaman Amerika dan Inggris.

Amerika dan Inggris adalah dua negara demokrasi besar tapi kebobolan dalam menangani pandemi. Sebagian pengamat berpendapat, buruknya respons Presiden Amerika Donald Trump merupakan penyebab utama meluasnya pandemi di Amerika. Trump terlambat dan meremehkan risiko serangan virus ini.

Kepemimpinan buruk berakibat pada merosotnya otoritas medis. Merosotnya otoritas medis mengakibatkan rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan penanganan pandemi dan berujung pada apatisme. Akibatnya, penyebaran virus sulit dibendung.

Di Inggris, Perdana Menteri Boris Johnson, yang selama ini mengandalkan retorik populis, mengambil kebijakan ugal-ugalan menerapkan herd immunity yang belum teruji secara ilmiah. Ia beralasan pembatasan sosial hanya akan menghasilkan social fatigue. Kebijakan membiarkan masyarakat terpapar sampai muncul kekebalan tubuh secara alamiah dibayar mahal dengan meledaknya angka penularan di Inggris.

Trump dan Johnson adalah dua pemimpin yang kecanduan retorik populis dan anti-intelektual. Pengalaman ini berbeda dengan Jerman di bawah Angela Merkel. Merkel sejak mula mempersiapkan Jerman secara serius menghadapi pandemi. Di Korea Selatan, seminggu setelah ditemukan kasus pertama, keluar perintah kepada 20 perusahaan memproduksi alat tes secara kilat, dilanjutkan dengan tes massal. Di Singapura, pada 3 Februari, menteri kesehatan negara itu memberikan penjelasan di parlemen mengenai apa dan bagaimana cara menghadapi pandemi.

Dari tabel ini terlihat kegagalan atau keberhasilan suatu negara menghadapi pandemi tidak bergantung pada tipe rezim, demokratis atau otoriter, juga tidak bergantung pada jenis kebijakan pemerintahnya (lockdown/bukan lockdown).

Negara-negara yang berhasil menghadapi pandemi ditandai pertama-tama oleh adanya kepemimpinan politik yang responsif. Makin cepat wabah ditanggapi serius, makin baik pengendaliannya. Kedua, otoritas medis disertai dengan kebijakan kesehatan publik yang tepercaya sangat penting dalam menahan pandemi. Ketiga, adanya kesadaran dan partisipasi publik yang kuat. Saling percaya yang tumbuh antara warga dan pemerintah akan mendorong rasionalitas dan kepatuhan sukarela untuk isolasi diri dan membatasi jarak fisik. Bagaimana dengan Indonesia?

Kita menghadapi pandemi dengan respons awal yang buruk. Seperti di Amerika, elite-elite Indonesia meremehkan bahaya corona. Respons yang salah berakibat pada lemahnya otoritas medis. Lemahnya otoritas medis di Indonesia tampak dari kurangnya koordinasi dan tata kelola antarlembaga, egoisme sosial sebagaimana tampak dari politikus yang memesan alat tes virus untuk keperluan diri sendiri, serta tindakan sepihak masyarakat di pelbagai daerah untuk menutup daerahnya. Banyak orang tidak tahu harus berbuat apa dan harus mempercayai siapa. Pada saat yang sama, jumlah pasien bertambah, rumah sakit makin kewalahan, dan tenaga medis berjibaku penuh risiko dengan alat perlindungan yang seadanya.

Di tengah situasi dan desakan agar pemerintah mengambil kebijakan yang lebih serius, Presiden Joko Widodo mengeluarkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar, yang diikuti dengan bantuan untuk masyarakat miskin yang terkena dampak pandemi. Banyak pihak menginginkan agar pemerintah menerapkan langkah restriksi wilayah yang lebih keras. Namun sebagaimana kita lihat, dari perbandingan negara-negara di atas, restriksi total tidak dengan serta-merta berhasil menahan laju pandemi. Sebaliknya, pembatasan sosial yang dianggap lebih longgar juga tidak dengan serta-merta gagal. Indonesia jelas tidak memiliki kemampuan dan kemewahan sebagaimana Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan. Seberapa besar peluang Indonesia lolos dari serangan pandemi ini?

Modal terbesar Indonesia saat ini adalah civil society yang aktif. Inilah yang semestinya dijadikan sandaran untuk membentuk solidaritas dan melampaui bencana. Untuk mentransformasi civil society ke dalam solidaritas kolektif melawan pandemi, diperlukan tiga syarat:

Pertama, kita memerlukan kepemimpinan yang responsif dan meyakinkan. Di titik ini, presiden harus memantapkan diri menghindari ketidakpercayaan di masyarakat yang makin luas. Bila diperlukan, ia harus mulai melibatkan pelbagai tokoh nasional untuk membantunya meyakinkan publik bahwa Indonesia mampu menghadapi pandemi ini. Pandemi tidak mungkin dihadapi selama masyarakat terus terbelah.

Kedua, untuk mendukung kepemimpinan yang responsif, Indonesia harus memperkuat otoritas medis. Keputusan politik penanganan pandemi harus berbasis pada pertimbangan medis dan kebijakan kesehatan publik. Tanpa otoritas medis yang kuat, kebijakan kesehatan publik mudah tergelincir menjadi permainan bisnis dan bulan-bulanan politik kepentingan.

Ketiga, supaya kebijakan medis didukung rakyat, pemerintah harus berhasil membangun kesadaran dan saling percaya serta mendorong partisipasi publik. Dari segi ini, wacana penetapan darurat sipil mesti dihentikan karena ia memberikan sinyal buruk untuk masyarakat. Darurat sipil mengindikasikan pemerintah tidak memiliki keyakinan diri bahwa kebijakannya akan diikuti sehingga menyiapkan ancaman dan represi.

Badai pandemi membawa angin horor dan panik di dalamnya. Fatalitasnya menyerang segi-segi paling subtil dari eksistensi manusia. Bukan cuma rakyat biasa, pejabat dan orang-orang kuat pun beringsut menjaga jarak. Kita takut. Namun pesimisme yang kelabu tidak boleh mencengkam akal sehat dan semangat kita. Sejarah umat manusia menunjukkan bahwa determinasi pengetahuan, solidaritas, dan kemanusiaan, meski datangnya selalu belakangan, terbukti berkali-kali berhasil menolong kelangsungan hidup umat manusia.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus