Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak kalangan tercengang sembari mengucap astagfirullah ketika tudingan suap diarahkan pada Ketua MA dalam kasus Probosutedjo. Tak hanya bau amis yang segera menyebar, tapi juga damage yang harus ditanggung MA, khususnya bagi para justisiabel, untuk tetap mempercayai benteng terakhir pencari keadilan ini. Di tengah situasi itulah Komisi Judisial (KJ) mulai dilirik orang: apakah komisi ini akan mampu menegakkan harapan di tengah kian merosotnya kepercayaan publik pada lembaga peradilan?
Jalan pikiran tersebut dengan segera menegaskan dan mengarahkan bahwa ”misi spiritualitas” terpenting dari Komisi Yudisial adalah perang terhadap mafia peradilan; dan kalau itu yang disepakati, Komisi Yudisial harus mampu memenuhi beberapa prasyarat dasar dan merumuskan tantangan secara paripurna.
Lembaga yang belum lagi seumur jagung, tentu, belum teruji betul ketangguhannya untuk dapat memerangi korupsi yang sudah sedemikian sistematisnya di dunia lembaga pengadilan. Selain segera meningkatkan dan memperkuat kapasitas kelembagaannya dengan melengkapi sarana dan prasarana kantor yang memadai, tugas urgen lain yang justru harus dilakukan oleh semua komisioner secara saksama adalah membangun tim dan trust-building yang solid, membaiat komitmen moral untuk menjalankan misi spiritualitas secara amanah dan konsisten, serta merumuskan strategi kerja yang progresif.
Sedari awal, anggota komisioner Komisi Yudisial beserta jajarannya harus sudah mafhum dan menyadari bahwa tidaklah mungkin mereka difasilitasi secara cepat dengan berbagai perlengkapan sarana dan prasarana yang memadai untuk menjalankan tugasnya. Dapat dipastikan, mereka belum sepenuhnya akan mendapat kompensasi yang memadai selama beberapa bulan mendatang, serta akan menghadapi ”ketiadaan” biaya operasional untuk menjalankan tugasnya secara optimal.
Pada konteks eksternal, tantangan pertama yang harus dilakukannya adalah membangun ”komunikasi” dengan lembaga pengadilan, khususnya MA, sehingga kelak dapat lebih ditingkatkan koordinasi dan konsolidasi kelembagaan di antara kedua institusi ini. Titik yang paling krusial untuk memulai itu, apakah kedua lembaga ini mau dan mampu menjadikan kasus Probosutedjo sebagai pintu masuk untuk membenahi dunia pengadilan yang tingkat kepercayaannya tengah merosot tajam. Diduga, perdebatan akan terjadi pada soal sejauh mana cakupan otoritas Komisi Yudisial dalam melakukan telaah dan penilaian untuk memastikan ada-tidaknya pelanggaran etik dan perilaku hakim dalam menangani suatu perkara pelanggaran.
Di satu titik, independensi pengadilan untuk memutus suatu perkara harus dijaga dan tidak dapat diintervensi. Namun, di sisi lainnya, akuntabilitas harus ditegakkan dan independensi tidak dapat digunakan untuk melindungi hakim dan putusan yang tidak akuntabel. Pada situasi ini harus secara cermat dan mendalam didiskusikan, bagaimana mengatasi soal di atas. Kemampuan untuk mencari titik ”keseimbangan” antara akuntabilitas dan independensi dalam konteks cakupan otoritas Komisi Yudisial menjadi penting, sehingga pencarian kebenaran materiil atas ada-tidaknya pelanggaran etik dan perilaku dapat dilakukan secara obyektif tanpa harus mengintervensi independensi; serta tidak menimbulkan reaksi yang berlebihan masing-masing lembaga yang potensial menjauhkan pencapaian tujuan untuk menegakkan kredibilitas dan martabat pengadilan
Problem atas soal itu telah muncul ketika Komisi Yudisial membuat rekomendasi pada MA bahwa majelis hakim kasus pemilihan kepala daerah Depok ”telah melanggar kode etik hukum acara dan asas keadilan sehingga majelis telah melakukan tindakan yang bersifat unprofessional, baik secara formal maupun material”. Rekomendasi itu menimbulkan reaksi yang sangat keras dari MA yang secara umum menyatakan bahwa Komisi Yudisial tidak dapat membuat penilaian atas putusan hakim. Sementara itu, Komisi Yudisial berpendapat bahwa putusan hakim dapat dipakai sebagai salah satu pintu masuk untuk menilai ada-tidaknya pelanggaran etik dan perilaku hakim.
Setidaknya ada dua tantangan lain yang juga harus diatasi oleh Komisi Yudisial: kesatu, strategi intervensi untuk melakukan pengawasan terhadap lebih dari 6.000 hakim oleh hanya tujuh orang komisioner; dan kedua, membuat rekomendasinya mempunyai kekuatan enforceable.
Dalam konteks strategi intervensi, Komisi Yudisial tidak dapat bergerak sendirian. Karena itu, kemampuan Komisi Yudisial menggerakkan dan mengkonsolidasi berbagai sumber daya yang berada di lembaga negara lainnya, seperti KPK dan PPATK serta masyarakat sipil, harus secara cerdas dilakukan. Selain itu, Komisi Yudisial juga tidak dapat menggunakan strategi yang biasa-biasa saja. Maksudnya, Komisi Yudisial tidak hanya harus memahami pola atau modus operandi pelanggaran etik dan perilaku, tetapi harus mampu menciptakan strategi preemptive yang membuat kalangan hakim berpikir lima-enam kali untuk melakukan pelanggaran. Komisi Yudisial juga harus mengkombinasikan strategi antisipatif dan represif secara seimbang sesuai dengan kebutuhan sehingga komisi ini tidak hanya mampu menyeret pelaku pelanggaran tetapi juga mendorong MA untuk menciptakan sistem yang dapat mengeliminasi setiap potensi pelanggaran.
Akhirnya, langkah telah diayun, jalan panjang dan lika-liku tak hanya telah membentang tetapi juga penuh muslihat dan tipu daya. Semoga saja Komisi Yudisial juga mempunyai keteguhan hati yang luar biasa, kecerdasan spiritual dan emosional yang mahadahsyat, serta kecerdikan dalam bersikap dan berperilaku secara amanah dalam menyemai asa menabur harap melawan ”mafia peradilan” untuk wujudkan peradilan yang bersih, berwibawa, dan profesional. Wassalam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo