Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KERENTANAN pekerja telah menjadi kosa kata yang membanjiri diskursus ilmu sosial saat ini. Ada banyak riset yang memaparkan betapa rentannya para pekerja kini (Standing, 2011; Furlong, 2016; dan MacDonald, 2016). Kondisi ini juga tampak dalam situasi ketenagakerjaan di Indonesia. Misalnya, para pekerja gig economy mengalami situasi rentan, tak adil, dan eksploitatif (Keban, Hernawan, dan Novianto, 2021).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari berbagai artikel dan data juga tampak bahwa tingginya tingkat pendidikan tidak membuat individu kebal terhadap situasi rentan. Sebab, pendidikan tinggi tak membuat calon pekerja atau pekerja lebih mudah meraih dan mempertahankan pekerjaan. Data Badan Pusat Statistik 2024 menunjukkan, tingkat pengangguran terbuka lulusan diploma IV, S-1, S-2, dan S-3 dari Februari 2023 hingga Februari 2024 naik 0,11 persen poin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara itu, ketika seseorang tidak memiliki kualifikasi pendidikan formal yang memadai, mereka perlu berjuang ekstrakeras untuk bekerja di berbagai bidang kehidupan. Mereka yang kemudian berhasil adalah sosok istimewa karena mampu menembus tembok tebal kesulitan hidup dan memiliki keteguhan serta ketangguhan berlipat.
Situasi kian kompleks dan problematik ketika pemenuhan hak pendidikan masih menghadapi berbagai ganjalan. Beberapa kalangan menyebutnya sebagai komersialisasi dan privatisasi pendidikan (Rosser, 2015). Saat ini, dalam berbagai berita, ramai soal diskursus kian mahalnya biaya kuliah di perguruan tinggi. Saat ini, untuk meraih jenjang pendidikan tinggi makin sulit dan mahal. Kian banyak pihak yang menjerit, termasuk kalangan mahasiswa yang mengkritik secara langsung mahalnya uang kuliah tunggal. Diskursus publik tentang posisi pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, pun kian ramai.
Apa yang terjadi saat ini sebetulnya bukan situasi baru. Ada ragam situasi kompleks yang membuat kian hari biaya pendidikan menjadi lebih mahal. Salah satunya kategorisasi berbasis Undang-Undang Perguruan Tinggi yang membagi perguruan tinggi negeri menjadi PTN satuan kerja, PTN badan layanan umum, dan PTN badan hukum. Pembagian ini dalam banyak segi membuat biaya kuliah di PTN menjadi bervariasi.
Putra (2016) memaparkan beberapa kebijakan tentang pendidikan tinggi sejak 1999 hingga lahirnya Undang-Undang Pendidikan Tinggi secara garis besar telah melegalkan PTN untuk meningkatkan sumber pendanaan dari masyarakat melalui kenaikan biaya SPP serta pemberian otonomi manajemen dan keuangan terhadap kampus-kampus badan hukum milik negara (BHMN). PTN membuka jalur masuk mandiri, menyediakan kursi nonsubsidi, dan membuka program kelas internasional.
Selain itu, PTN bekerja sama dengan pihak industri, melakukan kegiatan konsultasi komersial, menyewakan aset perguruan tinggi, serta menerima sumbangan dari dalam dan luar negeri. Ketika situasi itu terjadi, pendidikan menjadi barang mahal dan hanya bisa dipilih oleh mereka yang memiliki kapital memadai.
Paradoks
Narasi pendidikan sebagai pilihan merupakan diksi yang dikuatkan oleh arus neoliberalisme (Angus, 2013). Ketika diksi itu dipilih oleh negara, sudah jelas pendidikan menjadi tanggung jawab personal atau tanggungan keluarga. Mahalnya biaya pendidikan dikarenakan dalam beberapa segi negara melepaskan tanggung jawab sosialnya, dan situasi itu bertentangan dengan semangat “keadilan sosial” yang diamanahkan Pancasila.
Makin tinggi pendidikan yang ditempuh oleh anak-anak Indonesia, makin besar biaya personal yang harus ditanggung keluarga. Dalam porsi demikian, pendidikan menjadi tanggung jawab personal. Situasi ini membuat hanya keluarga yang memiliki kapital ekonomi yang lebih memadai yang dapat menempuh pendidikan.
Dalam berbagai literatur disampaikan terdapat berbagai kompleksitas struktural transisi pasar kerja yang dihadapi kaum muda (Hardgrove, McDowell & Rootham, 2015). Transisi ini melibatkan interaksi kompleks antara pendidikan dan pekerjaan (Jun Fu, 2023). Lebih kompleks, teropong pendidikan dengan menggunakan lensa ekonomi seperti diungkap Giroux (2009).
Giroux berpendapat bahwa saat ini semua dimensi kehidupan manusia dikonstruksi menggunakan rasionalitas pasar. Tak mengherankan, anak-anak yang masih mengenyam pendidikan diposisikan semata calon tenaga kerja yang akan masuk pasar kerja. Sikap mental dan keterampilan yang diinternalisasi di dunia pendidikan sangat bergantung pada kebutuhan dunia kerja.
Jun Fu (2023) memaparkan, dalam transisi pendidikan ke dunia kerja, selalu diteropong melalui kerangka ekonomi. Padahal juga penting memperhatikan sisi bagaimana proses transisi tersebut ditilik dari upaya anak-anak muda menemukan identitas diri dan mencari makna dalam proses itu. Atau, lebih menekankan pada perspektif sosial dan kewargaan untuk mendapat pemaknaan hidup.
Dalam proses ini, pendidikan negara memiliki beban tumpuan yang tak sekadar memapankan kualifikasi seseorang, tapi juga bagaimana kompetensi kewargaan dan relasinya dengan kehidupan sosial. Dalam tanggung jawab negara, terutama untuk Indonesia yang berbasis Pancasila, perlu mengedepankan rasa keadilan pendidikan. Dengan demikian, pendidikan adalah hak yang perlu digenapi oleh negara.
Tertampar Kenyataan
Memiliki kualifikasi akademik tinggi tak menjamin seseorang mendapatkan kehidupan yang lebih baik secara ekonomi. Demikianlah yang dihadapi individu dalam keseharian. Dalam situasi tertentu, mereka yang menggenggam pendidikan tinggi pun harus tertampar kenyataan soal sulitnya mendapat dan mempertahankan pekerjaan.
Jika pembaca menelusuri lowongan pekerjaan di berbagai situs web pencari kerja, ada ragam pola dalam soal persyaratan. Mayoritas lowongan pekerjaan mencantumkan usia maksimal, pendidikan, kualifikasi khusus terkait dengan bidang pekerjaan, dan syarat lainnya. Sebagian perusahaan tidak mencantumkan usia maksimal. Tapi untuk kualifikasi akademik dan kualifikasi khusus bidang pekerjaan dipersyaratkan. Namun tampak perusahaan meminati para pekerja yang memiliki usia relatif muda dan memiliki kualifikasi tinggi baik dalam pendidikan formal maupun soft skills. Praktik pembatasan usia dalam lowongan pekerjaan dikategorikan sebagai diskriminasi berbasis usia (ageism) (Izzati, 2023).
Bagi lulusan SMA/SMK, tapi sudah berusia 25 tahun ke atas, akan menghadapi tembok kokoh ketika mencari pekerjaan. Demikian pula untuk lulusan S-1, ketika sudah berusia 30 tahun ke atas, akan sungguh berjibaku untuk mendapatkan pekerjaan baru atau mencari pekerjaan yang lebih menjanjikan dari segi kesejahteraan. Selain itu, bagi yang sudah memasuki pasar kerja, saat ini kian sulit mendapat status sebagai pekerja tetap. Risiko adanya pemutusan hubungan pekerja pun hadir setiap saat.
Namun, meski tak mendapat gaji, tunjangan, dan jaminan sosial yang memadai, para pekerja tetap bertahan. Sebab, untuk mencari pekerjaan baru makin sulit dilakukan. Situasi rentan ini harus dijalani dengan tabah. Pasalnya, terdapat berbagai biaya yang harus dipenuhi, seperti kredit perumahan, pendidikan anak, konsumsi, transportasi, dan berbagai kebutuhan lain yang tak dapat ditunda. Meski pada akhirnya sikap yang dipilih adalah: walau harus tertatih-tatih, hidup harus berjalan dan disyukuri.
Namun, sering kali kita diajak untuk menyelesaikan berbagai perkara ini secara personal. Situasi yang dihadapi para pekerja ini menjadi sesuatu yang personal (personal problem). Kita sering mendengar ungkapan, “Ketika Anda menganggur, ini karena kapasitas diri, personal branding, atau keterampilan Anda tidak memadai”. Maka, kerap kali tawaran yang diberikan serba personal, yaitu meningkatkan kapasitas diri melalui reskilling dan upskilling atau dengan meningkatkan kualifikasi akademik. Dan, resep ini tak ampuh untuk semua orang karena jelas itu nasihat yang bersifat personal.
Padahal ada sesuatu yang bersifat struktural dan kompleks. Kesulitan memperoleh pekerjaan pada situasi hari ini bukanlah perkara personal, melainkan, mengutip C. Wright Mills, menjadi isu. Dalam konteks ini, negara tak bisa diam. Apalagi salah satu janji negara adalah memajukan kesejahteraan umum. Perlu ada upaya struktural dan menyeluruh untuk menyelesaikan problem bangsa ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo