Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENYELUNDUPAN ratusan ekor anjing dari Subang, Jawa Barat, untuk dijagal di Solo Raya, Jawa Tengah, pada 6 Januari lalu menunjukkan betapa gawatnya perdagangan daging anjing di Indonesia. Pemerintah tak boleh menganggap sepele kejahatan terhadap binatang yang memalukan sekaligus membahayakan kesehatan masyarakat itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ironisnya, penggagalan pengiriman 266 ekor anjing ke Solo itu bukanlah inisiatif aparat penegak hukum, melainkan hasil keberanian para aktivis satwa dari Animals Hope Shelter Indonesia. Bantuan polisi baru datang setelah Christian Joshua Pale, pemimpin komunitas tersebut, memergoki truk yang membawa ratusan ekor anjing di gerbang tol Kalikangkung, Semarang, Jawa Tengah.
Selama ini, Solo dikenal sebagai wilayah dengan tingkat konsumsi daging anjing terbanyak. Komunitas Dog Meat Free melaporkan sedikitnya ada 82 pedagang masakan daging anjing di kota itu.
Anjing tak pantas dijagal bukan saja karena hewan ini bisa menjadi peliharaan dan sahabat manusia. Lebih serius lagi, mengkonsumsi daging anjing bisa membahayakan kesehatan manusia. Daging anjing tak aman dikonsumsi karena berisiko tinggi menyebarkan zoonosis—penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia dan sebaliknya. Daging anjing berpotensi mengandung banyak bakteri dan parasit berbahaya yang bisa berpindah ke tubuh manusia, seperti salmonela, E. coli, atau cacing jantung.
Penyakit mematikan yang juga bisa menular akibat maraknya konsumsi daging anjing adalah rabies. Orang-orang yang mengolah daging anjing rentan terkena penyakit ini. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, angka kematian manusia akibat rabies di Indonesia terbilang tinggi. Hingga 2022, rata-rata terjadi 100-156 kasus kematian per tahun, dengan tingkat fatalitas hampir 100 persen. Dari 34 provinsi di Tanah Air, baru tujuh provinsi yang dinyatakan bebas rabies. Padahal, menurut peta jalan yang dibuat Badan Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia harus bebas rabies paling lambat pada 2030.
Larangan perdagangan dan konsumsi daging anjing tak cukup berupa janji, seperti yang disampaikan Gibran Rakabuming Raka pada September 2022. Waktu itu, sebagai Wali Kota Solo, Gibran berjanji menerbitkan aturan larangan penjualan dan konsumsi daging anjing. Belakangan, pemerintah dan DPRD Kota Solo berdalih tak bisa melarang perdagangan serta konsumsi daging anjing karena tak ada aturan soal itu di tingkat pusat.
Gibran—juga kepala daerah lainnya—seharusnya bisa mencontoh Jimmy Feidie Eman, Wali Kota Tomohon periode 2012-2021, dan penerusnya, Caroll Senduk. Kedua wali kota itu berani melarang perdagangan daging anjing di wilayah mereka. Meski hanya berlaku pada pasar milik pemerintah kota, larangan itu terbukti membuat perdagangan daging anjing di Pasar Beriman Tomohon—dikenal sebagai pasar ekstrem—berhenti total.
Pemerintah Indonesia perlu belajar dari negara-negara yang memiliki aturan setingkat undang-undang untuk melarang perdagangan dan konsumsi daging anjing. Korea Selatan, misalnya, telah mengesahkan undang-undang serupa pada awal Januari lalu. Inisiatif yang sama tengah bergaung di Cina. Padahal mengkonsumsi daging anjing merupakan tradisi sebagian warga setempat. Di Provinsi Guangxi, Cina, misalnya, ada Festival Yulin, ajang tahunan jual-beli daging anjing besar-besaran yang sudah berjalan lebih dari satu dekade.
Dengan melarang perdagangan serta konsumsi daging anjing, pemerintah Korea Selatan dan Cina tampaknya hendak melakukan dua hal sekaligus: mencegah penyiksaan hewan dan melindungi masyarakatnya. Kapan pemerintah Indonesia melakukan hal serupa?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo