Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mungkin ini terjemahan harfiah pernyataan Presiden Joko Widodo ketika melantik kabinet periode kedua pemerintahannya bahwa “tidak ada visi menteri-menteri, yang ada hanya visi-misi presiden”. Kini, ia mewajibkan semua rancangan peraturan menteri mendapat persetujuannya sebelum disahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peraturan yang diterbitkan pada awal Agustus 2021 ini membuat kekuasaan akan betul-betul terpusat di tangan Presiden. Ia akan mengurus hal-hal teknis yang sebelumnya selesai di level kementerian. Hal ini sekaligus menunjukkan ketidakpercayaan Sang Kepala Pemerintahan kepada para bawahannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kewajiban itu tertera pada Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2021 tentang Pemberian Persetujuan Presiden terhadap Rancangan Peraturan Menteri/Kepala Lembaga. Menurut Sekretariat Kabinet, peraturan dibuat karena "arahan, keputusan, dan putusan rapat terbatas kabinet kerap diterjemahkan berbeda oleh beberapa kementerian dan lembaga". Sekretariat Kabinet juga menyatakan bahwa peraturan presiden ini dibuat untuk meminimalkan permasalahan dalam pelaksanaan peraturan menteri/kepala lembaga.
Presiden mensyaratkan tiga kriteria rancangan peraturan menteri yang memperoleh persetujuan: berdampak luas bagi masyarakat; bersifat strategis, yaitu berpengaruh pada program prioritas presiden, pertahanan dan keamanan, serta keuangan negara; serta lintas sektor atau lintas kementerian/lembaga. Nantinya, keputusan persetujuan presiden dapat berupa persetujuan, penolakan, atau arahan lain.
Penjelasan Sekretariat Kabinet itu menunjukkan kurang berjalannya komunikasi di pusat kekuasaan. Alih-alih menegur bawahannya yang keliru, presiden membuat sistem baru yang akan menumpuk rancangan menteri di mejanya. Sebagai ilustrasi, menurut data Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), pada periode Januari-Juli 2021 telah terbit 2 undang-undang, 76 peraturan pemerintah, 61 peraturan presiden, dan 471 peraturan menteri. Bisa dibayangkan, hampir 70 peraturan menteri per bulan itu harus mendapat persetujuan presiden. Rantai proses pembuatan peraturan menteri dan kepala lembaga pun akan semakin panjang.
Aturan baru itu menabrak ketentuan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Di situ disebutkan, harmonisasi aturan hukum dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan pemerintahan urusan hukum. Dalam praktiknya, tugas itu selama ini dilakukan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Perubahan ketentuan dalam pembuatan peraturan menteri itu sebenarnya tidak selaras dengan klaim pemerintah Jokowi untuk menyederhanakan birokrasi. Ia selalu bergembar-gembor bahwa pemerintahannya terus merampingkan aturan. Pada awal pemerintahan periode kedua, Jokowi bahkan menyusun aturan sapu jagat alias omnibus law, yaitu Undang-Undang Cipta Kerja.
Undang-undang yang disebut memangkas dan menyatukan berbagai aturan terpisah itu disusun buru-buru, mengesampingkan banyak keberatan dari masyarakat. Dewan Perwakilan Rakyat, yang dikuasai partai-partai pemerintah, pun segendang-seirama, menyetujui aturan itu. Sekadar mengingatkan, setelah disahkan, naskah undang-undang tersebut bahkan belum final tentang jumlah pasal dan halamannya. Semua dilakukan dengan dalih menyederhanakan aturan untuk menarik semakin banyak investasi.
Klaim penyederhanaan itu menjadi tidak masuk akal ketika semua rancangan peraturan menteri harus melewati meja presiden sebelum disahkan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo