Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono mestinya tidak cepat melupakan sejarah. Pekan lalu, pemerintah membentuk forum koordinasi dengan anggota Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, kejaksaan, dan kepolisian. Forum ini tak ada bedanya dengan wadah zaman Orde Baru yang dikenal sebagai ”Mahkejapol”—juga beranggota empat lembaga yang sama.
Forum masa lalu itu dibentuk untuk memudahkan koordinasi antarlembaga penegak hukum, selain sebagai tempat mencari solusi bila ada perbedaan penafsiran terhadap pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Tapi jangankan berkoordinasi, forum malah menjadi ajang kongkalikong antarmafia hukum. Persekongkolan juga terjadi dalam forum ”diljapol” yang dibentuk di daerah—melibatkan kepala pengadilan, kantor wilayah Departemen Kehakiman, kejaksaan, dan kepolisian daerah.
Di provinsi dan kabupaten, kepala pengadilan negeri dan pengadilan tinggi merupakan bagian dari ”muspida” (musyawarah pimpinan daerah), lembaga eksekutif di bawah pembinaan gubernur atau bupati. Akibatnya, kemandirian hakim hilang karena pengadilan berada di bawah kendali eksekutif. Setelah orde gelap berlalu, forum dibubarkan.
Pemerintah Yudhoyono hendaknya tak mengulang kesalahan masa lalu dengan menghidupkan forum serupa. Koordinasi yang baik antarlembaga hukum jelas diperlukan untuk memberantas mafia dan memblokade intervensi politik di ruang pengadilan. Tapi tujuan pembentukan forum yang terkesan mulia itu sebenarnya mengandung sejumlah kesalahan.
Menyatukan Mahkamah Agung dengan kepolisian, kejaksaan, dan Kementerian Hukum mencederai prinsip trias politika. Mahkamah Agung merupakan lembaga yang berkedudukan sejajar dengan presiden. Karena itu, Mahkamah tidak boleh ”dipadukan” dengan lembaga eksekutif di bawah koordinasi presiden. Meski forum itu hanya berwujud forum koordinasi, kekuasaan menjalankan pemerintahan dan menegakkan hukum harus dipisahkan secara tegas. Campur-baurnya dua kekuasaan itu mengundang kolusi dan korupsi.
Dikhawatirkan forum koordinasi pemerintah Yudhoyono hanya menjadi ajang tawar-menawar. Sebuah kasus yang melibatkan polisi, misalnya, dengan mudah ”dikoordinasi” agar tak mencoreng semua institusi. Mafia kasus yang melibatkan pejabat kejaksaan, kepolisian, dan kehakiman bisa diredam dalam forum silaturahmi bersuasana kekeluargaan. Solusi pun dipilih yang mencerminkan hubungan harmonis nan akrab. Forum juga akan memunculkan rasa sungkan antarlembaga. Kekuasaan peradilan yang mestinya independen mudah dilobi dalam forum semacam ini. Alih-alih menyingkirkan intervensi politik dalam penegakan hukum, forum malah akan menyuburkannya.
Pemerintah tak perlu repot-repot membentuk majelis semacam ini. Kalaupun dibutuhkan koordinasi antara polisi, jaksa, dan menteri hukum, cukuplah itu dilakukan di dalam kabinet. Presiden punya hak penuh untuk mengatur mereka. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan bisa menjalankan fungsi itu.
Perkara yang tak kunjung selesai—misalnya karena jaksa bolak-balik mengembalikan berkas polisi yang dianggap belum lengkap—tak boleh diselesaikan dalam forum koordinasi. Petinggi polisi dan kejaksaan harus memeriksa dan memastikan aparatnya tak menerima suap atau sengaja mengulur waktu agar sebuah kasus tak dibawa ke pengadilan. Presiden harus berani memberikan sanksi jika diketahui petinggi polisi dan pimpinan jaksa ikut-ikutan nakal. Membentuk forum koordinasi hanya memberikan ruang kepada penegak hukum untuk main mata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo